Nationalgeographic.co.id - Setiap binatang dalam dunia hewan memiliki karakter unik masing-masing. Termasuk juga penerimaan mereka terhadap kehadiran manusia.
Saat ini kita biasa belihat banyak kucing yang jinak. Namun, kucing-kucing besar seperti singa dan harimau tetap liar dan buas di alam bebas.
Kita juga biasa melihat kuda yang jinak. Namun, jarang sekali kita lihat ada zebra yang jinak. Mengapa demikian?
Pertanyaan lebih detailnya, mengapa tidak semua binatang bisa dijinakkan oleh manusia?
Sekitar 11.000 tahun yang lalu, manusia menyadari ada tempat yang lebih baik bagi beberapa hewan daripada di alam liar. Lalu kita pun mulai membujuk mereka ke permukiman kita, dan secara bertahap membentuk sifat mereka agar lebih sesuai dengan kebutuhan kita akan makanan, tenaga kerja, dan persahabatan.
Selama ribuan tahun, kita mencoba-coba domestikasi banyak spesies hewan. Tetapi hanya beberapa —terutama, sapi, kambing, domba, ayam, kuda, babi, anjing, dan kucing— yang telah membuktikan diri mereka sangat berguna sehingga mereka telah kita bawa ke seluruh dunia, berkembang hampir di mana pun manusia hidup.
Namun kenapa hanya hewan-hewan itu? Mengapa tidak badak, harimau, zebra, atau salah satu dari ratusan makhluk lain yang tampaknya cocok?
Menurut ahli fisiologi dan geografi evolusioner Jared Diamond, dalam bukunya yang terkenal Guns, Germs and Steel, sebagaimana yang dikutip Live Science, ada enam kriteria yang harus dipenuhi hewan untuk domestikasi. Banyak spesies yang mendekati, tetapi sangat sedikit yang cocok.
Pertama, hewan peliharaan tidak bisa pilih-pilih makanan. Hewan-hewan ini harus dapat menemukan cukup makanan di dalam dan sekitar pemukiman manusia untuk bertahan hidup.
Hewan herbivora, seperti sapi dan domba, harus bisa mencari makan di rumput dan makan kelebihan pasokan biji-bijian kita. Karnivora, seperti anjing dan kucing, harus rela mengais-ngais kotoran dan sisa-sisa manusia.
Baca Juga: Dunia Hewan: Inilah Tujuh Binatang yang Punya Profesi Tidak Biasa
Baca Juga: Dunia Hewan: Mengapa Lalat Suka Makan Tahi, tapi Tidak Sakit?
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR