Pada tahun 2014, tenggelamnya Feri Sewol mengejutkan bangsa dan dunia. Setelah itu, siswa SMA Gwangju mengadakan penghormatan dengan jumeokbap untuk meningkatkan kesadaran tentang insiden tersebut. Mereka menunjukkan simpati kepada keluarga yang terkena dampak tragedi tersebut.
Jumeokbap mempersatukan warga Gwangju bagai nasi yang lengket
Berita soal jumeokbap dari Gwangju ini pun dengan cepat menyebar. Orang-orang yang selamat dari pembantaian tahun 1980 dan para pekerja Gwangju mulai muncul untuk bercerita tentang jumeokbap. Orang-orang Gwangju masih bergantung pada jumeokbap untuk bersatu.
Pembuatan jumeokbap ini mengandalkan kekuatan masyarakat. Mereka tidak mengambil sepeser uang pun dari pemerintah untuk mendukung usaha ini.
Para wanita membuat jumeokbap dengan cara kuno, hanya menambahkan rumput laut panggang untuk rasa. Meskipun kurang mewah, nasi kepal itu mengerahkan kekuatan mobilisasi yang sangat besar.
Bagi warga Gwangju, jumeokbap juga melambangkan jongshin gye-seung—warisan spiritual—dan daedong jongshin—keinginan untuk mencapai perdamaian dan kemakmuran bersama.
Belakangan, Gwangju menggunakan jumeokbap sebagai lambang niat baik dan diplomasi. Para penyintas tragedi 5.18 berharap generasi muda dapat belajar tentang tragedi itu. Menyiapkan, berbagi, dan menikmati jumeokbap adalah cara bagi para penyintas untuk menyampaikan kenangan mereka.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Source | : | Atlas Obscura |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR