Para pencinta kuliner khas Korea mungkin sudah tidak asing lagi dengan jumeokbap. Jika berkunjung ke Korea Selatan, nasi kepal ini ditemukan di rumah makan atau bahkan minimarket. Bukan sekadar makanan, jumeokbap memiliki nilai penting bagi orang Korea, khususnya Gwangju. Ternyata, nasi kepal ini menjadi simbol di Korea Selatan. Bagaimana kisahnya?
Jumeokbap menjadi makanan para pejuang Gwangju
Jumeokbap atau nasi kepal disiapkan saat fajar dengan mengaduk sebaskom nasi segar, garam, dan biji wijen. Semua bahan dicampur menjadi satu kemudian dibentuk seperti bola seukuran kepalan tangan.
Makanan ini menjadi salah pilihan yang murah, cepat, dan tidak mudah basi. “Sempurna untuk dijadikan bekal saat piknik atau ketika bermalam di parit saat terjadi kerusuhan,” tulis Jia Jung di laman Atlas Obscura.
Saat ini, jumeokbap dapat ditemukan di seluruh Korea Selatan. Anda bisa membelinya di stasiun kereta api, terminal bus, pub, toko serba ada, dan bahkan restoran trendi di Seoul. Namun versi jumeokbap dengan makna terpenting adalah nasi kepal dari Gwangju.
Pada tanggal 18 Mei 1980, sekitar 600 mahasiswa dan warga sipil berkumpul di Universitas Nasional Chonnam Gwangju. Mereka berada di sana dalam protes damai terhadap Chun Doo-hwan.
Diktator militer memblokade kota dari bantuan dan jurnalis. 18.000 polisi anti huru-hara dan 3.000 pasukan terjun payung dari pasukan khusus "baret hitam" disiapkan untuk menghadang massa.
Hingga 2.000 warga sipil terbunuh dalam beberapa hari berikutnya. Beberapa individu menghilang selamanya. “Tidak diketahui bahkan oleh tikus atau burung, seperti kata pepatah Korea,” tambah Jia Jung.
Ketika para pejuang kehabisan makanan, para wanita dan pedagang kota mendirikan pusat distribusi untuk jumeokbap. Mereka mengosongkan dapur mereka dan membagikan briket batu bara terakhir untuk mengukus nasi dalam kuali di jalanan yang kacau. Satu-satunya bahan tambahan adalah taburan garam.
“Bahkan pejuang paling kejam pun melunak setelah ditawari nasi kepal,” kenang Jung. Pelajar, buruh, dan pemulung sama-sama merasa nyaman menyapa mereka yang menyiapkan nasi. Namun saat-saat hangat penuh persahabatan ini segera padam.
Gwangju, kota dengan semangat demokrasi
Source | : | Atlas Obscura |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR