Pada tanggal 27 Mei 1980, pasukan bersenjata berat dialihkan dari Zona Demiliterisasi (DMZ) untuk menutup protes. Selama bertahun-tahun kemudian, rezim Chun menyiksa apa yang disebut pemberontak 5.18. Rezim itu menutup media lokal dan melarang peringatan tentang perjuangan.
Namun para penyintas terus berbagi jumeokbap dan kenangan. Mereka menuntut pengakuan dan ganti rugi dari pemerintah.
Gwangju tetap menjadi kota dengan semangat demokrasi yang kuat. Namun pengangguran dan depopulasi sempat mengubahnya menjadi kota termiskin kedua di Korea Selatan. Tidak mau berlarut-larut, Gwangju memutuskan untuk mengubah citranya pada tahun 2019. Salah satunya dengan memperkenalkan masakan tradisionalnya.
Saat itu, komite kota memilih jumeokbap sebagai salah satu dari tujuh makanan untuk mewakili Gwangju. Hidangan lain adalah hanjeongsik, sederet piring kecil yang dulu hanya dinikmati oleh bangsawan dan bangsawan, dan oritang, sup bebek yang mewah.
Mengapa nasi kepal bisa dimasukkan ke dalam daftar? “Jumeokbap dianggap melambangkan jongshin kota Gwangju—mentalitas, energi, dan semangatnya,” Jia Jung Menambahkan.
Jumeokbap kembali mengisi perut yang kelaparan setelah krisis moneter Asia 1997
Bagi Jia Jung, jumeokbap mencerminkan rezeki yang sederhana dan berharga selama masa-masa sulit.
Tahun 2001, setelah krisis moneter di Asia, jumeokbap bak mengulang sejarah. Penduduk Gwangju dimobilisasi untuk membuat jumeokbap. Nasi kepal ini didistribusikan kepada pekerja lokal yang kelaparan.
Baca Juga: Kisah Fanatisme Sepak Bola Korea, 'Son Heung-Min Adalah Segalanya'
Baca Juga: Minuman Kuno Makgeolli yang Digandrungi Milenial di Korea Selatan
Baca Juga: Kenapa Daging Perut Babi Begitu Digilai oleh Orang-orang Korea?
Ini yang Terjadi pada Tubuh Manusia Ketika Berada di Zona Kematian Gunung Everest
Source | : | Atlas Obscura |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR