Nationalgeographic.co.id—Para peneliti dari The Ohio State University menggunakan debu yang terperangkap dalam es gletser di Tibet untuk mendokumentasikan perubahan masa lalu dalam sistem iklim Bumi yang rumit. Mereka juga yakin, mungkin suatu hari nanti ini dapat membantu memprediksi perubahan di masa depan.
Temuan mereka menunjukkan bahwa komposisi debu dalam sampel yang dikumpulkan dari berbagai area dan kedalaman gletser yang sama dapat sangat bervariasi. Sebuah penemuan yang mengisyaratkan bahwa catatan debu yang lengkap dapat mengungkapkan lebih banyak rahasia daripada yang disadari para ilmuwan.
Debu yang diaduk oleh angin kencang dapat menyebabkan serangkaian reaksi berantai di atmosfer. Ini memengaruhi segala hal mulai dari kesehatan manusia dan biokimia laut hingga keseimbangan karbon dioksida di atmosfer. Bagaimana mikropartikel ini memengaruhi atmosfer sekitarnya sangat bergantung pada ukuran, bentuk, dan susunan kimianya.
Dalam sebuah studi baru yang diterbitkan di jurnal Geosciences berjudul “Aeolian Dust Preserved in the Guliya Ice Cap (Northwestern Tibet): A Promising Paleo-Environmental Messenger,” para peneliti bekerja untuk membantu memahami bagaimana debu memengaruhi iklim. Melalui pemeriksaan partikel debu yang terkunci di dalam es purba, atau apa yang dikatakan Emilie Beaudon, rekan penulis studi tersebut dan rekan peneliti senior di Byrd Polar and Climate Research Center, menyebutnya sebagai 'cryo-dust.'
“Dengan melihat komposisi debu melalui es, kita dapat mengekstraksi informasi tentang kondisi lingkungan bumi pada saat salju diendapkan dan es terbentuk,” ujarnya. "Kami mungkin dapat mempelajari apakah itu periode yang relatif kering atau basah atau mencoba menyimpulkan dari mana asal debu, dan dengan demikian mendapatkan informasi tentang pengaruh atmosfer di masa lalu."
Namun peneliti membutuhkan banyak es untuk dapat mengumpulkan data tersebut.
Inti es, silinder es yang dibor dari gletser dan tudung es, telah lama digunakan sebagai arsip komprehensif sistem iklim Bumi karena terawetkan dengan baik. Saat lapisan es menumpuk selama musim dan tahun, aerosol menumpuk di dalam setiap lapisan baru. Pada akhirnya memberi para peneliti catatan yang sangat rinci tentang sejarah iklim planet yang penuh gejolak.
Dengan bantuan kapsul waktu alami ini, para ilmuwan dapat mempelajari seperti apa dunia pada saat itu, termasuk aspek-aspek seperti konsentrasi gas rumah kaca, serta aktivitas vulkanik, matahari, dan biologis.
Es yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan dari Tudung Es Guliya di Tibet Barat Laut. Ini adalah sebuah daerah rumah bagi salah satu daerah sumber debu atmosfer terbesar di Belahan Bumi Utara, kedua setelah Gurun Sahara. “Karena wilayah tersebut berada di bawah pengaruh angin barat, banyak debu yang terbawanya tertiup ke kota-kota besar di Asia Timur,” kata Beaudon. Misalnya, pada tahun 2021, China mengalami badai debu terbesarnya dalam satu dekade karena badai tersebut memaksa seluruh kota untuk berlindung. Di mana pada akhirnya menimbulkan kekhawatiran dari komunitas ilmiah tentang dampak perubahan iklim terhadap frekuensi dan intensitas peristiwa semacam itu.
Tetapi para ilmuwan tidak memiliki cukup data untuk membantu mengidentifikasi bagaimana debu gurun Asia Tengah diangkut dalam jarak jauh, atau bagaimana perubahannya dari waktu ke waktu. “Mempelajari catatan debu dari inti es Tibet adalah satu-satunya cara untuk memberikan perspektif jangka panjang pada siklus debu Asia Tengah,” kata Beaudon.
Baca Juga: Gletser yang Bergerak Cepat Berkontribusi pada Kenaikan Permukaan Laut
Baca Juga: Puluhan Hewan Purba Prasejarah Ditemukan di Gletser yang Mencair
Baca Juga: Gawat, Gletser Himalaya Mencair Jauh Lebih Cepat daripada yang Lain
Pada 2015, tim peneliti dari Amerika Serikat dan China membantu mengebor inti es dari berbagai lokasi di tudung es Guliya, sebelum mengirim inti es ini kembali ke laboratorium di Ohio State. Tim Beaudon menganalisis dua inti es, menyelidiki catatan debu di area tersebut dengan mempelajari partikel mikro yang dikumpulkan pada filter dari es yang meleleh, serta partikel yang terperangkap dalam subsampel es biasa. Beaudon memperhatikan bahwa debu yang terbungkus tidak seragam; alih-alih, setiap endapan merupakan susunan yang tidak mungkin dengan warna, ukuran, dan lapisan yang berbeda.
“Apa yang ingin kami buktikan dengan sampel awal ini adalah adanya variabilitas aktual dalam geokimia dan mineraloginya,” katanya. "Kami menemukan bahwa tidak semua debu yang sama berasal dari gurun yang sama, dan bahkan di gletser yang sama, Anda tidak selalu memiliki bahan yang sama."
Secara keseluruhan, penelitian mencatat bahwa arsip debu gletser Guliya yang sangat tua adalah kandidat utama untuk eksplorasi lebih dalam. Membuka banyak jalan penelitian, termasuk mempelajari populasi mikrob yang ada di dalam es dan memakan nutrisi cryo-dust yang dibawa di dalamnya.
Akhirnya, Beaudon membayangkan pekerjaannya membantu menyelidiki catatan glasial planet di luar Bumi. "Tujuan saya adalah untuk memperoleh banyak keahlian dalam cryo-dust," katanya. "Jika ada inti es yang dibor atau sampel yang diambil dari Mars atau planet lain, saya berharap untuk dapat mempelajarinya."
Source | : | Phys.org |
Penulis | : | Wawan Setiawan |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR