Nationalgeographic.co.id—Hasil sebuah penelitian baru mengungkapkan bahwa korupsi yang meluas telah menghalangi negara-negara Asia untuk secara efektif menerapkan langkah-langkah untuk mengurangi emisi karbon dioksida (CO2), zat yang diketahui berkontribusi terhadap pemanasan global. Hal ini juga termasuk terjadi di Indonesia.
Menurut Center for Global Development, sebuah lembaga think tank yang berbasis di London dan Washington, negara-negara berkembang kini bertanggung jawab atas 63% emisi karbon tahunan. Industri, kekuasaan, dan kekayaan, yang telah lama dimonopoli oleh segelintir negara maju, kini berkembang pesat di negara-negara berkembang, kata mereka.
Peningkatan emisi karbon merupakan konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang di Asia yang juga tampaknya memiliki risiko yang lebih besar dibandingkan wilayah lain dari dampak perubahan iklim, karena alasan sosial, geografis, dan ekonomi, kata para peneliti.
Dalam studi tersebut, para peneliti menunjukkan bahwa sehubungan dengan pengurangan emisi karbon, korupsi merupakan faktor yang memprihatinkan. Jika korupsi meningkat 1%, emisi karbon juga akan meningkat 0,19%, kata studi tersebut.
Laporan peneliti ini telah diterbitkan dalam jurnal Utilities Policy edisi Desember 2022. Penelitian ini menilai data antara tahun 1960 dan 2020 dari 47 negara di Asia termasuk Indonesia, Bangladesh, Kamboja, India, Malaysia, Maladewa, Myanmar, dan Nepal.
Karbon dioksida adalah perangkap panas utama, gas rumah kaca yang menghangatkan bumi, yang menyebabkan perubahan iklim. Badan Perlindungan Lingkungan AS mengatakan emisi CO2 terjadi terutama karena penggunaan bahan bakar fosil untuk pemanasan, produksi listrik, dan transportasi.
Diperkirakan 1,5 miliar ton CO2 juga dilepaskan oleh deforestasi setiap tahunnya. Pembukaan lahan terkait pertanian dan degradasi tanah juga menjadi kontributor emisi karbon.
Pada tahun 2021, kawasan Asia Pasifik bertanggung jawab atas hampir 17,8 miliar ton emisi CO2, dan angka tersebut lebih besar dari total emisi dari seluruh kawasan lain pada tahun tersebut. Selain itu, tingkat korupsi rata-rata kawasan Asia Pasifik juga lebih tinggi daripada kawasan lain, kata para peneliti yang menambahkan bahwa korupsi menghambat pelaksanaan langkah-langkah untuk mengatasi emisi CO2.
Baca Juga: Korupsi Hambat Perkembangan Sains dan Teknologi di Indonesia
Baca Juga: Rentetan Praktik Korupsi Pemantik Perang Jawa Pangeran Dipanagara
Baca Juga: Dalam Buruknya Lalu Lintas, Ada Korelasi Pemerintahan yang Korup
Khosrul Alam, rekan penulis studi ini, mengatakan bahwa "Korupsi mendorong salah urus proses pembangunan secara keseluruhan tanpa menangani masalah lingkungan dengan benar. Orang-orang dan badan-badan yang rusak melakukan aktivitas mereka dengan cara putus asa dan tidak teratur demi keuntungan mereka sendiri dan kurang menekankan pada lingkungan yang meningkatkan emisi karbon dioksida."
Alam, seorang asisten profesor di Bangabandhu Sheikh Mujibur Rahman Science and Technology University, Bangladesh, mengatakan bahwa globalisasi telah menyebabkan berbagai kegiatan pembangunan yang meningkatkan emisi CO2.
“Inovasi teknologi juga memperparah emisi karbondioksida, jika tidak mengadopsi metode-metode hijau,” kata Alam, seperti dikutip dari SciDev.Net.
Dia menambahkan bahwa "kebijakan pengendalian korupsi yang efektif dan komprehensif" diperlukan bersamaan dengan inovasi teknologi ramah lingkungan untuk mengatasi emisi karbon dioksida.
Chiranjib Chakraborty, profesor di School of Life Science and Biotechnology di Adamas University, Kolkata, menyatakan bahwa emisi CO2 dan masalah lingkungan terkait dapat ditangani dengan mengadopsi resolusi yang dibuat pada KTT iklim COP26 2021 di Glasgow, Skotlandia.
Dalam KTT tersebut para ilmuwan dan pembuat kebijakan sepakat untuk menegaskan kembali target Perjanjian Paris untuk membatasi suhu rata-rata global hingga 1,5 derajat Celsius. Mereka juga sepakat untuk berupaya mengatur dana untuk pemulihan polusi yang akan diberikan oleh negara-negara kaya kepada negara-negara miskin dan mendorong penggunaan energi terbarukan sambil memotong produksi dan penggunaan bahan bakar berbasis energi fosil.
Sayangnya, para pihak yang berkumpul untuk COP27 di Sharm El-Sheikh Mesir bulan ini gagal mencapai kesepakatan untuk memperkuat target tersebut.
"Para peneliti harus memprioritaskan solusi untuk emisi karbon dioksida yang mempertimbangkan pengentasan kemiskinan dan peningkatan pendapatan di negara-negara berkembang," tegas Chakraborty.
Source | : | SciDev.Net |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR