Nationalgeographic.co.id—Sebuah paradoks, suatu hal yang tampaknya keliru namun pada kenyataannya memiliki kebenaran. Sebuah studi yang digagas University of Queensland dan Wildlife Conservation Society menunjukkan ketidaksesuaian global yang dramatis. Inilah ketidakadilan antara negara-negara produsen gas rumah kaca (GRK) dan yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Studi ini dipublikasikan dalam jurnal Scientific Reports berjudul "Global mismatch between greenhouse gas emissions and the burden of climate change". Para penelitinya adalah Glenn Althord dari School of Geography, Planning and Environmental Management, University of Queensland; James E. M. Watson dari institusi yang sama dengan Althord sekaligus Wildlife Conservation Society; dan Richard A. Fuller dari School of Biological Sciences, University of Queensland.
Mereka menunjukkan bahwa negara-negara yang memancarkan GRK tertinggi, ironisnya adalah yang paling rendah terdampak perubahan iklim, seperti peningkatan frekuensi bencana alam, perubahan habitat, dampak kesehatan manusia, dan stres industri. Sedangkan negara-negara yang memancarkan sedikit jumlah GRK justru paling rentan.
Sebagian besar negara-negara yang paling rentan adalah Afrika dan Negara Kepulauan Kecil. Negara-negara ini terkena perubahan lingkungan yang serius seperti genangan samudera atau penggurunan. Mereka juga umumnya negara-negara yang paling maju, memiliki beberapa sumber daya yang tersedia untuk mengatasi masalah ini.
Negara-negara mengekspor banyak kerusakan yang ditimbulkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK) mereka karena atmosfer bumi bercampur secara global. Namun, sejauh mana hal ini menyebabkan ketidaksetaraan antara penghasil emisi GRK dan mereka yang terkena dampak perubahan iklim bergantung pada distribusi kerentanan iklim.
Althord dan kawan-kawan penelitinya menunjukkan secara empiris hubungan antara emisi GRK negara dan kerentanannya terhadap dampak negatif perubahan iklim. Sejalan dengan hasil penelitian lain, mereka menemukan ketidaksetaraan global yang sangat besar, yakni 20 dari 36 negara penghasil emisi tertinggi termasuk yang paling tidak rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim di masa depan. Sebaliknya, 11 dari 17 negara dengan emisi GRK rendah atau sedang, sangat rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim.
Mereka menambahkan, pada 2010, hanya 28 negara (16 persen dari total negara yang diteliti) yang memiliki keseimbangan yang adil antara emisi dan kerentanan. Selain itu, skenario emisi di masa depan menunjukkan bahwa ketimpangan ini akan memburuk secara signifikan pada 2030. Jumlah negara rentan akan semakin buruk terkait tekanan perubahan iklim seperti kekeringan, banjir, hilangnya keanekaragaman hayati dan deforestasi.
"Ada ketidaksetaraan global yang sangat besar, di mana negara-negara yang paling bertanggung jawab penyebaban perubahan iklim justru yang paling rendah kerentanannya terhadap efek," kata pemimpin penulis makalah, Glenn Althor dari University of Queensland.
"Ini seperti perokok pasif yang terkena kanker dari paparan asap perokok, sedangkan perokok berat terus membusungkan dada dan kabur. Intinya kami memanggil perokok untuk membayar perawatan kesehatan perokok pasif yang secara langsung merugikan mereka," kata rekan penulis, James Watson dari University of Queensland dan WCS.
Studi ini menemukan bahwa 20 dari 36 negara memancarkan GRK tertinggi—termasuk AS (Kanada), Australia, Cina, dan sebagian besar Eropa Barat—justru yang paling rendah kerentanannya.
Baca Juga: Kenaikan Air Laut Pesisir Jawa Lebih Tinggi daripada Rata-Rata Global
Baca Juga: Peristiwa Cuaca Ekstrem Memicu Timbulnya Ancaman Penyakit Kulit
Baca Juga: Transisi Energi adalah Kunci Mengatasi Krisis Energi dan Krisis Iklim
Baca Juga: Perubahan Iklim dan Penangkapan Berlebihan Menguras Stok Ikan Global
Sebelas dari 17 negara dengan rendah emisi justru yang paling tinggi kerentanannya terhadap perubahan iklim. Sebagian besar ditemukan di sub-Sahara Afrika dan Asia Selatan. Para penulis mengatakan temuan ini bertindak sebagai disinsentif untuk negara-negara "free rider" atau penunggang bebas emisi tinggi untuk mengurangi emisi mereka.
"Banyak negara secara nyata menjadi "free rider" yang menyebabkan negara lain menanggung beban perubahan iklim, yang bertindak sebagai disinsentif bagi mereka untuk mengurangi emisi mereka," tulis mereka dalam jurnal. "Sudah waktunya ketidaksetaraan iklim yang terus-menerus dan memburuk ini diselesaikan dan bagi negara-negara penghasil emisi terbesar untuk bertindak berdasarkan komitmen mereka akan tanggung jawab bersama tetapi berbeda."
"Perjanjian Paris baru-baru ini adalah langkah maju yang signifikan dalam negosiasi iklim global" kata rekan penulis studi, Richard Fuller. "Sekarang perlu mobilisasi dari makna kebijakan tersebut, untuk mencapai pengurangan emisi nasional sambil membantu negara-negara yang paling rentan beradaptasi dengan perubahan iklim,"tambah Fuller.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR