Nationalgeographic.co.id—Alam Indonesia memiliki tiga jenis orangutan endemik. Namun, sayangnya, keberadaan spesies-spesies orangutan tersebut sedang terancam karena semakin luasnya pembangunan manusia di habitat hutan mereka.
Kondisi ini juga menimpa orangutan Tapanuli. Pada 2017, para ilmuwan mendeskripsikan spesies baru kera besar yang dinamakan orangutan Tapanuli. Spesies yang ditemukan di ekosistem Batang Toru di Sumatra Utara, Indonesia, ini segera terdaftar sebagai hewan yang terancam punah.
Populasi spesies ini telah menurun sebesar 83% selama 75 tahun terakhir. Sebagian besar karena perburuan dan hilangnya habitat. Hanya tersisa 800 orangutan Tapanuli, dan kini habitat terakhir mereka yang diketahui sedang terancam oleh banyak proyek infrastruktur.
"Yang paling utama adalah bendungan PLTA Batang Toru yang didanai oleh Tiongkok, yang mengancam memecah dan menenggelamkan sebagian besar habitat orangutan," kata Divya Narain, peneliti dari University of Queensland yang berfokus pada riset dampak pembangunan ekonomi terhadap alam.
"Proyek ini hanyalah salah satu dari 49 bendungan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang didanai Tiongkok: sebagian besar di Asia Tenggara, tetapi juga di Afrika dan Amerika Latin," tulis Narain dalam sebuah artikel di The Conversation.
Narain telah mengerjakan sebuah penelitian baru bersama rekan-rekannya. Hasil penelitian mereka menunjukkan risiko besar terhadap keanekaragaman hayati yang ditimbulkan oleh banyaknya bendungan yang didanai Tiongkok. Namun, sayangnya, menurut riset ini, regulasi lingkungan dari proyek-proyek ini memiliki kekurangan yang serius.
Tenaga air, seperti yang ingin dimanfaatkan lewat bendungan PLTA Batang Toru, sebenarnya diharapkan menjadi bagian penting dari transisi energi terbarukan global. Namun, sayangnya, teknologi ini membawa risiko lingkungan. Bendungan mengganggu aliran sungai, mengubah habitat banyak spesies. Dan waduk bendungan menggenangi dan memecah-mecah habitat di darat.
"Secara tradisional, pembiayaan proyek pembangkit listrik tenaga air di negara-negara berpenghasilan rendah adalah tanggung jawab bank pembangunan multilateral yang didukung Barat. Tiongkok kini telah muncul sebagai pemodal internasional terbesar untuk tenaga air di bawah program investasi infrastruktur luar negerinya, Belt and Road Initiative," tulis Narain.
Namun sedikit yang diketahui tentang skala pembiayaan pembangkit listrik tenaga air Tiongkok atau risiko keanekaragaman hayati yang ditimbulkannya. Apakah perlindungan yang memadai diterapkan pada proyek oleh para regulator Tiongkok dan negara tuan rumah juga kurang dipahami. "Penelitian kami berusaha untuk memperbaiki ini," kata Narain.
"Kami menemukan Tiongkok mendanai 49 bendungan PLTA di 18 negara termasuk Myanmar, Laos, dan Pakistan. Bendungan-bendungan itu kemungkinan akan menghambat aliran 14 sungai yang mengalir bebas, membahayakan spesies yang ditampungnya," paparnya.
Khusus bendungan di Sumatra Utara, para pendukungnya mengatakan bendungan itu menggunakan teknologi ramah lingkungan yang hanya membutuhkan area kecil untuk digenangi air. Namun, dua bank pembangunan multilateral menjauhkan diri dari proyek tersebut setelah muncul kekhawatiran tentang dampak potensial terhadap orangutan Tapanuli.
"Bank of China milik negara Tiongkok juga menarik tawaran keuangannya setelah protes internasional. Pemodal Tiongkok SDIC Power Holdings kemudian turun tangan untuk mendanainya," beber Narain.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Source | : | The Conversation,tirto.id |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR