Diah juga berharap para penonton dan pengunjung bisa juga memberitahukan tetangganya, saudaranya, atau kenalannya yang mungkin punya "anak istimewa" untuk bergabung menjadi keluarga besar Belantara Budaya Indonesia.
Asisten Deputi Pemberdayaan Disabilitas dan Lanjut Usia Kemenko PMK Ricky Radius Siregar mengapresiasi acara ini. Dia mengatakan acara ini sesuai dengan tema perayaan Hari Disabilitas Internasional di Indonesia tahun 2022, yakni "Partisipasi Bermakna untuk Indonesia Inklusif". Inkulisivitas yang dimaksud adalah dari sisi pembangunan berkelanjutan dan sisi hak asasi manusia yang harus melibatkan semua orang.
"Yang dilakukan oleh Bu Diah dan Margo City ini luar biasa. Bukan hanya memberikan tempat, tapi memberikan awareness kepada masyarakat bahwa kita harus hidup berdampingan dengan para penyandang disabilitas," ucap Ricky.
Diah mendirikan Yayasan Belantara Budaya Indonesia karena keresahan pribadinya melihat anaknya lebih tertarik pada tari balet yang berasal dari Italia ketimbang tari-tari tradisional Indonesia. Padahal, dulu ayah Diah telah menanamkan pada diri Diah kecintaan terhadap seni dan budaya Indonesia, termasuk mengajarkan berbagai tari tradisional.
Bersama rekan-rekannya yang juga punya kepedulian untuk melestarikan tari dan musik tradisional, Diah kemudian merintis Belantara Budaya Indonesia sejak 2013. Kini, yayasan itu telah memiliki murid lebih dari 5.500 orang. Sekitar 200 orang di antaranya merupakan para penyandang disabilitas, termasuk tunanetra, tuli, tunadaksa, serta tunagrahita seperti sindrom down.
Belantara Budaya Indonesia telah memiliki sekolah-sekolah tari dan musik tradisi gratis di berbagai kota di tiga provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Mereka mengajarkan tari-tari tradisional serta alat-alat musik tradisional seperti angklung dan gamelan.
Indonesia punya banyak sekali alat musik tradisional dari Sabang sampai Merauke, terutama jenis alat musik perkusi. Bicara soal perkusi dan disabilitas, ada film dokumenter berjudul Anak dari Surga yang berkisah tentang keseharian remaja dengan sindrom down bernama Aurel, yang aktif dan senang bermain jimbe (perkusi).
Film garapan sutradara Ace Raden Desenasuria tahun 2017 itu merupakan hasil observasi kehidupan Aurel dengan berbagai tantangan yang dijumpai. Film ini juga menyoroti dukungan orang tua Aurel dalam mengatasi tantangan anaknya dan aktif memberikan solusi.
Dokumenter ini menegaskan pentingnya dukungan orang tua bagi anak mereka dengan sindrom down. Sebuah dukungan dengan cara menerima apa pun kondisi anak mereka, dan memberikan kesempatan anak mereka sebagaimana anak lainnya.
Dalam film yang berdurasi 30 menit itu, dukungan penuh dari orangtua dan keluarga menempatkan Aurel sebagai remaja dengan seluruh hak hidupnya, terlindung dari diskriminasi, bahkan Aurel mampu menjadi remaja yang dapat membantu teman-temannya.
Aurel tetap dapat bermain musik, melukis, bersosialisasi, dan berkawan dengan orang-orang di sekitarnya. Bahkan remaja dengan sindroma down itu dapat membantu teman-temanya memberikan pelayanan gereja di berbagai gereja, bahkan di gereja yang ada dalam penjara.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR