Nationalgeographic.co.id—Perubahan iklim dapat membuat bentang alam menjadi lebih kering di seluruh Bumi. Meski kering, masih ada beberapa vegetasi yang mampu bertahan walau air sulit didapat. Namun, seberapa jauh vegetasi bisa bertahan di situasi bioma yang kering akibat perubahan iklim?
Jutaan tahun lalu, saat periode maksimum glasial, Afrika bagian utara adalah kawasan hijau yang bisa dihidupi manusia, dan hewan-hewan yang ada di kawasan tropis dan sub-tropis pada umumnya. Hal itu diungkapkan lewat banyak gambar cadas, prasasti, dan pengamatan geologis.
Namun, seiring berakhirnya masa glasial, perubahan iklim menerpa. Hingga sekitar 6000-4000 SM kawasan itu mengering. Perubahan iklim memicu penurunan curah hujan. Hal itu mungkin dirasakan oleh peradaban awal Mesir kuno sebelum segersang pada milenium berikutnya.
Akan tetapi, masih ada vegetasi seperti kaktus, yang bisa menjadi makanan peradaban manusia. Melihat hal ini, sebuah makalah terbaru di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences 30 Januari 2023, berjudul "Edaphic specialization onto bare, rocky outcrops as a factor in the evolution of desert angiosperms" mencari tahu kemampuan vegetasi di lingkungan kering.
"Jika Anda berpikir tentang kegersangan hanya sebagai stimulus untuk evolusi tanaman, maka dalam banyak kasus orang dapat mengatakan bahwa tanaman [seperti] ini selamat," kata Isaac Lichter-Marck, penulis pertama studi dari Department of Integrative Biology and Jepson Herbarium, University of California.
Sekitar seperlima dari permukaan tanah bumi adalah gurun, tambahnya. Jika adaptasi terhadap kondisi gersang hanya mungkin dilakukan oleh tanaman yang telah berevolusi untuk menghadapi tekanan seperti itu, maka banyak tanaman saat ini mungkin tidak dilengkapi dengan peralatan genetik memadai untuk bertahan hidup.
Ada banyak fosil tanaman yang diungkap oleh para ahli paleontologi. Fosil tanaman yang tumbuh subur puluhan juta tahun sebelum menyebar ke gurun, memiliki karakteristik yang mirip dengan tanaman gurun yang ada saat ini.
"Mereka dapat beradaptasi, dan mereka akan baik-baik saja. Mereka akan memanfaatkan kondisi baru ini, dan mereka akan berkembang," lanjutnya di Eurekalert.
Para peneliti menjelajahi gurun di benuya Amerika yang sudah gersang dalam 5—7 juta tahun terakhir. Ahli botani telah lama menyadari bahwa tumbuhan menginvasi gurun, dan dengan cepat melakukan diversifikasi untuk mengisi banyak celah untuk menciptakan jenis habitat baru tersebut.
Mereka menemukan kasusnya pada bunga aster (Aster amellus) yang menunjukkan, "ketika gurun muncul, tanaman yang memiliki praadaptasi yang diperlukan untuk memanfaatkan kondisi baru adalah tanaman yang tumbuh subur," terang Lichter-Marck.
"Ada sumber garis keturunan terbatas yang dapat memanfaatkan tingkat kekeringan baru, dan itu penting untuk memahami efek perubahan iklim terhadap keanekaragaman hayati."
Lichter-Marck mengutarakan, butuh waktu yang sangat lama bagi tumbuhan untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan gurun yang gersang. Namun, selama Zaman Miosen Akhir (11—5 juta tahun silam), habitat kering menyebar, dan garis keturunan tanaman gurun seperti kaktus dan agave, bisa beradaptasi. Tumbuhan seperti ini mengalami diversifikasi yang cepat.
Tanaman yang hidup di gurun punya jenis lokasi berbeda-beda, salah satunya spesies yang hidup di bebatuan kering dan terbuka. Tanaman yang hidup di bebatuan yang tersingkap, akan mengalami tantangan yang sama dengan habitat gurun yang kering, terang Lichter-Marck.
Namun, tanaman seperti ini cenderung terpapar sinar UV, angin dan kondisi kering, dan panas-dingin ekstrem. Mereka juga harus bertahan dari serangan hewan herbivora.
"Cara tanaman menghadapinya beragam, tetapi biasanya melibatkan semacam morfologi akar khusus yang membantu mereka berlabuh di singkapan batuan, serta menghadapi kondisi gersang yang tinggi," jelasnya.
"Dan mereka cenderung memiliki daun yang lebih kecil, atau daun-daun dengan penutup rambut yang lebat yang membantu menyangganya dari kekeringan dan menghalangi sinar matahari, termasuk sinar UV. Mereka juga cenderung memiliki pertahanan kimiawi yang tinggi terhadap herbivora, karena butuh banyak energi untuk beregenerasi setelah dikunyah."
Baca Juga: Ternyata Padang Gurun Berperan Penting dalam Peradaban Mesir Kuno
Baca Juga: Meningkatnya Debu Atmosfer Menutupi Efek Pemanasan Gas Rumah Kaca
Baca Juga: Hewan Apa yang Bertahan di 'Babak Eliminasi' Perubahan Iklim?
Baca Juga: Nenek Moyang Manusia Diyakini Berbulu, Mengapa Sekarang Tidak Sama?
Lichter-Marck bersama rekannya di UC-Berkeley, Bruce Baldwin, mengurutkan DNA spesimen spesies daisy (Perityle)—tanaman berbunga di batuan gurun. Mereka melihat jenis sistem akar dan kemampuannya yang terwariskan secara genetika. Kemudian dibandingkan dengan fosil bunga aster untuk melihat garis waktu kasar evolusinya.
Hasilnya, dia menyimpulkan bahwa tanaman bisa beradaptasi dengan tekanan panas, gersang, angin, dan paparan UV matahari. Tanaman seperti ini bisa beradaptasi berdasarkan kekuatan tumbuh mereka di tebing, sebelum mengivasi gurun.
Penelitian seperti ini bisa menjadi pelajaran, bagaimana perubahan iklim kelak bisa membuat perubahan bagi tanaman yang ada hari ini. Beberapa kawasan di dunia yang dikenal hijau dan subur, mungkin kelak akan menjadi gurun kering. Pada akhirnya, tanaman harus bisa beradaptasi untuk menjadi jenis baru yang tangguh seperti jenis lain di gurun hari ini.
Source | : | Eurekalert |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR