Nationalgeographic.co.id—Sebuah masjid berdiri dengan megah dan kokoh di tengah gersangnya gurun Afrika. Masjid megah ini berada di Djenne, Mali. Diperkirakan menjadi pusat penyebaran Islam di sana.
Di balik megahnya sebuah masjid di Djenne, muncul satu nama yang mungkin dkenal hampir di seluruh dunia. Pendirinya adalah Mansa Musa, seorang muslim yang tercatat menjadi salah satu manusia paling kaya di bumi.
"Catatan kontemporer tentang kekayaan Musa begitu luar biasa, hingga hampir tidak mungkin untuk merasakan betapa kaya dan kuatnya dia sebenarnya," ungkap Rudolph Butch Ware, profesor sejarah di University of California kepada Garnett.
Henry Garnett menulisnya kepada Boss Hunting dalam artikelnya berjudul The Story Of Mansa Musa: The Richest Man In Human History, yang publish pada 4 Januari 2022.
Mansa Musa mewarisi kerajaan yang sudah kaya raya. Di saat Musa menjadi seorang konglomerat, sebagian besar kerajaan di Eropa sedang berjuang secara finansial karena penurunan produksi emas dan perak.
"Sebagian besar kekayaan Musa berasal dari penambangan garam dan deposit emas yang signifikan di kerajaan Mali, serta gading gajah," tulisnya. Upayanya dalam memperluas perdagangan, membuat Mali menjadi kerajaan terkaya di Afrika saat itu.
Pada saat menunaikan haji ke tanah suci, ia berangkat bersama 1.000 pengiring, 100 unta yang masing-masing memuat 136 kilogram emas, pemusik pribadi, dan 500 budak yang membawa tongkat emas.
Bahkan menurut Rudolph, di sepanjang "perjalanan (haji), ia menyebarkan berita kekayaannya ke seluruh daratan Mediterania dengan membagi-bagikan emas yang ia bawa kepada seluruh sahaya yang ia temui selama perjalanan."
Saat singgah di Kairo, ia memberikan begitu banyak emas kepada orang miskin dan kelaparan di sana, sehingga menyebabkan inflasi massal di Mesir yang berlangsung selama 12 tahun setelahnya.
Setelah perjalanan spiritualnya ke tanah suci, ia kembali lagi untuk membangun peradabannya sendiri. Kali ini, ia menguatkan sektor keislaman di Afrika. Mansa Musa mulai merevitalisasi kota-kota di kerajaannya. Dia membangun masjid dan bangunan umum.
Salah satu masjid yang cukup ikonik ialah Masjid Agung Djenné. Masjid ini menjadi salah satu keajaiban di Afrika, dan salah satu bangunan keagamaan paling unik di dunia.
Sampai saat ini, masjid megah ini menjadi suatu pencapaian terbesar dari arsitektur Sudano-Sahelian, sekaligus merupakan "struktur bangunan yang terbuat dari lumpur terbesar di dunia," tulis Elisa Dainese kepada Khan Academy dalam artikel berjudul Great Mosque of Djenné.
Baca Juga: Upaya Pembakaran Ruang Publik hingga Masjid di Surakarta Tahun 1923
Baca Juga: Goresan Sejarah Hagia Sophia, Satu Kubah yang Menaungi Tiga Agama
Baca Juga: Jejak Diplomasi Politik Mataram Jawa dan Madura di Masjid Sampangan
Baca Juga: Masjid Syarif, Perdikan Keraton dalam Dakwah Kiai Syarif di Kartasura
Bagunan masjid in didirikan atas gagasan Mansa Musa antara tahun 800 hingga 1250 M. Ia menjelma menjadi pusat peradaban politik pribumi tatkala pemerintah kolonial Prancis mengakuisisi Mali pada 1892.
Selama berabad-abad, Masjid lumpur itu menjadi pusat kehidupan agama dan budaya di Mali, utamanya komunitas Djenné. Di sana juga jadi tempat terselenggaranya festival tahunan unik yang disebut Crepissage de la Grand Mosquée (Plasteran Masjid Agung).
Secara terus menerus masjid ini dipugar dan dipertahankan bengtuk otentiknya. Bentuk arsitektur Djenné yang unik dengan bahan baku lumpur membuatnya sangat rentan terhadap ancaman lingkungan, terutama banjir.
Diperkirakan masjid ini sempat runtuh sebanyak dua kali hingga akhirnya dibangun kembali pada tahun 1907 dengan mengikuti bentuk asalnya. Pada tahun 1988, Masjid Agung Djenné ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO.
Hutan Mikro Ala Jepang, Solusi Atasi Deforestasi yang Masih Saja Sulit Dibendung?
Source | : | Khan Academy |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR