Sampai saat ini, masjid megah ini menjadi suatu pencapaian terbesar dari arsitektur Sudano-Sahelian, sekaligus merupakan "struktur bangunan yang terbuat dari lumpur terbesar di dunia," tulis Elisa Dainese kepada Khan Academy dalam artikel berjudul Great Mosque of Djenné.
Baca Juga: Upaya Pembakaran Ruang Publik hingga Masjid di Surakarta Tahun 1923
Baca Juga: Goresan Sejarah Hagia Sophia, Satu Kubah yang Menaungi Tiga Agama
Baca Juga: Jejak Diplomasi Politik Mataram Jawa dan Madura di Masjid Sampangan
Baca Juga: Masjid Syarif, Perdikan Keraton dalam Dakwah Kiai Syarif di Kartasura
Bagunan masjid in didirikan atas gagasan Mansa Musa antara tahun 800 hingga 1250 M. Ia menjelma menjadi pusat peradaban politik pribumi tatkala pemerintah kolonial Prancis mengakuisisi Mali pada 1892.
Selama berabad-abad, Masjid lumpur itu menjadi pusat kehidupan agama dan budaya di Mali, utamanya komunitas Djenné. Di sana juga jadi tempat terselenggaranya festival tahunan unik yang disebut Crepissage de la Grand Mosquée (Plasteran Masjid Agung).
Secara terus menerus masjid ini dipugar dan dipertahankan bengtuk otentiknya. Bentuk arsitektur Djenné yang unik dengan bahan baku lumpur membuatnya sangat rentan terhadap ancaman lingkungan, terutama banjir.
Diperkirakan masjid ini sempat runtuh sebanyak dua kali hingga akhirnya dibangun kembali pada tahun 1907 dengan mengikuti bentuk asalnya. Pada tahun 1988, Masjid Agung Djenné ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO.
Source | : | Khan Academy |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR