Nationalgeographic.co.id—Telah sejak lama para ilmuwan mengetahui bahwa tembaga memiliki kemampuan khusus untuk mengubah karbon dioksida menjadi bahan bakar yang berharga. Tetapi selama bertahun-tahun, para ilmuwan belum memahami bagaimana hal tersebut dapat terjadi.
Sekarang, para ilmuwan telah membuat film (lapis tipis) nanopartikel tembaga secara waktu nyata untuk mempelajari hal tersebut.
Sejak tahun 1970-an, para ilmuwan telah mengetahui bahwa tembaga memiliki kemampuan khusus tembaga. Memahami kemampuan tembaga mengubah karbon dioksida (CO2) mejadi wawasan baru untuk memajukan bahan bakar surya generasi berikutnya.
Selama bertahun-tahun, para ilmuwan telah berjuang untuk memahami bagaimana logam biasa ini bekerja sebagai elektrokatalis, sebuah mekanisme yang menggunakan energi dari elektron untuk mengubah molekul secara kimiawi menjadi produk yang berbeda.
Oleh karena itu, tim peneliti yang dipimpin oleh Lawrence Berkeley National Laboratory (Berkeley Lab) telah memperoleh wawasan baru dengan merekam film nanopartikel tembaga secara waktu nyata.
Mereka menyelidiki bagaimana lempeng tembaga yang direkayasa dalam skala sepersemiliar meter itu saat mengubah CO2 dan air menjadi energi terbarukan. Antara lain etilena, etanol, dan propanol.
Hasil penelitian mereka telah dilaporkan dalam jurnal Nature baru-baru ini dengan judul "Operando studies reveal active Cu nanograins for CO2 electroreduction."
"Ini sangat menarik. Setelah puluhan tahun bekerja, kami akhirnya dapat menunjukkan, dengan bukti yang tak terbantahkan, bagaimana elektrokatalis tembaga unggul dalam pengurangan CO2," kata Peidong Yang, seorang ilmuwan fakultas senior di Ilmu Material dan Kimia Lab Berkeley, divisi yang memimpin penelitian.
Yang juga seorang profesor kimia dan ilmu material dan teknik di UC Berkeley. "Mengetahui bagaimana tembaga adalah elektrokatalis yang sangat baik membawa kita selangkah lebih dekat untuk mengubah CO2 menjadi bahan bakar surya baru yang dapat diperbarui melalui fotosintesis buatan."
Pekerjaan itu dimungkinkan dengan menggabungkan teknik pencitraan baru yang disebut operando 4D electrochemical liquid-cell STEM (scanning transmission electron microscopy) dengan probe sinar-X lunak.
Ilmuwan yang mempelajari bahan dan reaksi fotosintesis buatan ingin menggabungkan kekuatan probe elektron dengan sinar-X, tetapi kedua teknik tersebut biasanya tidak dapat dilakukan dengan instrumen yang sama.
Mikroskop elektron (seperti STEM atau TEM) menggunakan berkas elektron dan unggul dalam mengkarakterisasi struktur atom di bagian suatu bahan.
Tak Hanya Cukupi Kebutuhan Gizi, Budaya Pangan Indonesia Ternyata Sudah Selaras dengan Alam
Source | : | Nature,Lawrence Berkeley National Laboratory |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR