Nationalgeographic.co.id—Di masa lalu, hampir tidak ada kaisar Tiongkok yang pelit dan berhemat demi rakyatnya. Namun Min Ning (1782 — 1850) atau Kaisar Daoguang dari Dinasti Qing ternyata berbeda. Ia adalah kaisar yang rajin dan terkenal karena kerap berhemat. Di masa pemerintahannya, ia jadi saksi invasi oleh pihak asing yang menandai dimulainya era Tiongkok modern.
Dinasti Qing mengalami kegagalan yang signifikan dari penjajah asing. Kekaisaran Tiongkok mulai menandatangani serangkaian pakta yang tidak adil. Oleh karena itu, masa pemerintahan Kaisar Daoguang dianggap sebagai awal dari sejarah Tiongkok modern. "Selama pemerintahannya, ia berusaha mencegah penurunan kekaisaran, namun tidak berhasil," tulis Grace Young di laman Britannica.
Pangeran Min Ning yang berani dan berbakat
Ketika masih muda, Min Ning adalah seorang pangeran yang cerdas dan pemberani. Keterampilan memanah dan keberaniannya sangat diapresiasi oleh kakeknya Kaisar Qianlong dan ayahnya, Kaisar Jiaqing.
Ketika pemberontak menyerang Kota Terlarang, Pangeran Min Ning dengan berani mengorganisir penjaga kekaisaran, mengalahkan dan menembak beberapa penyerbu sendirian.
Ayahnya meninggal secara mendadak saat pangeran berusia 38 tahun. Sebagai pangeran tertua, Min Ning didukung untuk naik takhta sebagai Kaisar Daoguang.
Setelah itu, Kaisar Daoguang mulai berurusan dengan korupsi yang berkelanjutan dan pemberontakan tanpa henti. Sama seperti apa yang dihadapi oleh sang ayah sebelumnya.
Kaisar yang melakukan penghematan demi rakyat
Sebagai pemimpin dari sebuah kekaisaran besar dengan kekuatan terpusat, Kaisar Daoguang cukup terkenal karena kesederhanaannya yang ekstrem. Bahkan kadang-kadang pelit.
Dia tidak menggunakan furnitur mewah dan mahal. Dilansir dari laman China Fetching, sang kaisar biasanya meminta pelayannya untuk membeli makan malam di luar istananya. Pasalnya, makanan di pasar sipil harganya jauh lebih murah.
Berbeda dengan pendahulunya, Daoguang mengenakan pakaian tambalan dan meminta selir kekaisarannya untuk belajar membuat tambalan untuknya. Jadi, dia tidak perlu mengeluarkan uang untuk mempekerjakan orang lain guna menambal pakaiannya.
Ratu tercintanya, Permaisuri Xiaoquancheng (1808 — 1840), sepenuhnya mendukung ideologi hematnya.
Permaisuri Kaisar Daoguang hampir tidak mengenakan riasan wajah atau pakaian mewah. Mereka sebagian besar menerapkan pola makan vegetarian dan hanya makan enak pada hari libur besar atau acara penting.
Daoguang menyimpan banyak barang di gudang kekaisaran. Jika tidak digunakan, ia bersikeras untuk menjualnya kepada para pejabatnya untuk menambah pundi-pundi kekaisaran.
Selain itu, Kaisar Daoguang juga menyarankan para pejabatnya untuk hidup hemat. Dia percaya gaya hidup mewah akan melemahkan ambisi dan keberanian orang.
Meski dicap sebagai kaisar yang pelit, ia cukup royal pada rakyatnya yang menjadi korban bencana alam.
Kaisar Daoguang berkali-kali membebaskan pajak bagi orang miskin dan mengirimkan banyak uang kepada rakyat yang butuh bantuan. Padahal, sebagian besar uang yang dia kirim ke orang miskin berakhir di kantong pejabat yang korup.
Sementara itu, semua tabungannya dihabiskan untuk mengatasi pemberontakan yang tiada henti. "Termasuk Perang Candu," ungkap Young.
Gagal memenangkan Perang Candu
Selama pemerintahan Daoguang, Dinasti Qing melarang perdagangan internasional pada tingkat sipil. Meski ada larangan, ekspor kekaisaran masih melebihi impor.
Di saat yang sama, Inggris mulai menyelundupkan opium ke kekaisaran dan mendapatkan keuntungan yang luar biasa. Sebaliknya, peredaran opium ilegal menjadi bencana bagi Kekaisaran Tiongkok. Kesehatan dan kehidupan yang stabil pun terancam.
Kaisar Daoguang mengutus seorang pejabat pemberani bernama Lin Zexu untuk menyelidiki penyelundupan tersebut. Lin Zexu menghancurkan sejumlah besar opium yang diimpor secara ilegal dan mengusir penyelundup Inggris. Ia juga segera memutus perdagangan internasional dengan Inggris. Tindakannya itu memicu Perang Candu Pertama antara Inggris dengan Tiongkok pada 1840-1842.
Setelah serangkaian pertempuran dan negosiasi yang gagal, kekaisaran terpaksa menandatangani Perjanjian Nanjing yang tidak adil. Ini mencakup penyerahan Hong Kong, banyak ganti rugi, dan hilangnya banyak kedaulatan Tiongkok. “Gerbang” kekaisaran yang tertutup bagi asing pun dibuka paksa oleh Inggris.
Penyebab kegagalan Kekaisaran Tiongkok dalam perang ini terutama mencakup senjata, organisasi kacau, informasi yang tidak memadai tentang musuh, dan kebijakan yang tidak pasti.
Kekaisaran Tiongkok yang tertinggal dan awal sejarah Tiongkok modern
Di masa pemerintahan kakek Daoguang, ia mengeksekusi banyak kaum intelektual. Tidak hanya itu, sang kaisar juga membakar banyak buku-buku berharga. Di saat yang sama, Inggris memulai Revolusi Industri Pertama. Karena alasan itu, Kekaisaran Tiongkok mulai tertinggal dari dunia barat.
Baca Juga: Qianlong, Kaisar Tiongkok Paling Beruntung, Tetapi Membawa Kemiskinan
Baca Juga: Kisah Kaisar Kuning 'Huang Di' yang Legendaris, Leluhur Orang Tionghoa
Baca Juga: 2.000 Tahun Berkuasa, Apa Penyebab Jatuhnya Kekaisaran Tiongkok?
Baca Juga: Kubilai Khan, Kaisar Tiongkok Pertama yang Berasal dari Suku Nomaden
Dalam beberapa dekade berikutnya, kebijakan konservatif dan reparatif ayahnya dan Daoguang membuat Dinasti Qing kehilangan kesempatan terakhir untuk mengejar ketertinggalan. Akibatnya, Perang Candu Pertama terjadi antara kerajaan industri maju dan kekaisaran pertanian yang tertinggal.
Setelah perang ini, Kekaisaran Tiongkok terus menghadapi kekalahan dan menandatangani perjanjian yang tidak adil dengan negara-negara Barat yang maju. Oleh karena itu, Perang Candu Pertama dianggap sebagai awal dari sejarah Tiongkok Modern.
Tahun-tahun akhir Kaisar Daoguang
Dalam sepuluh tahun terakhir pemerintahan Kaisar Daoguang, Kekaisaran Tiongkok terus kehilangan tanah dan kedaulatan. Ini membuatnya menerima banyak dikritik karena tidak mampu mengatasi masalah dengan pihak asing.
Sulit untuk mengukur seberapa besar tanggung jawab yang harus diambil Kaisar Daoguang atas kerugian besar itu. Atau apakah sejarah akan berbeda jika kaisar besar lain yang bertanggung jawab?
Parahnya lagi, setelah serangkaian kegagalan dan perjanjian yang merugikan, ia tidak melakukan tindakan apa-apa untuk mengubah situasi. Inilah yang dikecam oleh rakyat.
Kaisar Daoguang yang pelit namun baik hati ini menyaksikan kekaisarannya diserang dan dikalahkan. Namun alih-alih mengambil tindakan keras, dia membiarkannya membusuk. Ini pun membuat ahli warisnya khawatir. Daoguang kemudian menyerahkan takhta kepada putra satu-satunya, Kaisar Xianfeng (1831—1861).
Namun, Kaisar Xianfeng hanya memerintah selama 11 tahun dan meninggal di usia muda. Setelah itu, salah satu selir kekaisarannya, kemudian Ibu Suri Ci Xi (1835-1908), merebut kekuasaan dan memerintah di akhir-akhir era Dinasti Qing.
Meski rajin dan memperhatikan rakyat, Kaisar Daoguang harus menyaksikan masuknya kekuatan asing di kekaisaran yang sebelumnya tertutup rapat. Pemerintahannya ditandai dengan dimulainya era Tiongkok modern.
Source | : | Britannica,China Fetching |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR