Dia berteman dengan penganut Tao, mempelajari filosofinya dan melakukan alkimia di istananya setiap hari. Ia bahkan merekomendasikan semua pejabatnya untuk percaya pada Taoisme. Seiring dengan berjalannya waktu, kaisar pun mencari ramuan keabadian. Sama sebelum pendahulunya, Kaisar Qin Shi Huang, kaisar pertama Tiongkok.
Inilah yang kemudian membuatnya hampir mati terbunuh di tangan harem dan pelayan istana.
Konspirasi para harem dan pelayan yang murka
Suatu malam di tahun 1542, sekelompok harem pelayan kekaisaran menyelinap ke kamar tidur Kaisar Jiajing. Mereka hampir mencekiknya. Namun karena terlalu gugup dan takut, upaya pembunuhan ini gagal.
Segera, sang ratu diberitahu dan segera menangkap para pelaku. Banyak orang, termasuk beberapa selir kekaisaran, dieksekusi sesudahnya.
Apa penyebabnya? China Fetching menyebutkan jika Kaisar Jiajing meminta banyak pelayan untuk mengumpulkan embun pagi-pagi sekali untuk latihan alkimia. Konon ini sangat menyebalkan dan melelahkan.
“Menurut beberapa sumber, pencarian kaisar untuk keabadian melibatkan pengumpulan darah menstruasi perawan perempuan,” kata Wu Mingren di laman Ancient Origins. Ia menggunakannya untuk membuat zat yang disebut ‘timbal merah’, yang akan dikonsumsi agar bisa hidup selamanya.
Banyak gadis berusia 13-14 dipelihara untuk produksi ramuan keji ini. Mereka hanya diberi makan daun murbei dan air hujan karena kaisar percaya ini akan menjaga kemurnian zatnya.
Para wanita muda dipukuli, tersiksa, dan kelaparan. Bila sakit, mereka akan dibuang. Selirnya juga dipukuli dengan kejam agar selalu tunduk padanya.
Setelah upaya pembunuhan itu, Kaisar Jiajing berhenti muncul dalam pertemuan-pertemuan pemerintahan. Namun dia masih bisa mengendalikan semuanya di balik tembok istana.
Kaisar yang memerintah dari persembunyian dan berkonsultasi dengan “Yang Abadi”
Dalam 20 tahun masa pemerintahannya berikutnya, dia mempraktikkan Taoisme di siang hari dan membaca laporan pemerintah di malam hari.
Source | : | Ancient Origins,Britannica,China Fetching |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR