Nationalgeographic.co.id—Pangeran Dipanagara selayaknya aktor utama dalam Perang Jawa (Java Oorlog), adalah sosok yang lekat dengan ajaran Islam, bahkan disebut-sebut termasuk dalam kalangan ulama.
Perannya tentu tak lepas dari tempatnya bersamadi (berkhalwat) di gua-gua hingga masjid. Salah satu bangunan masjid yang punya histori panjang dengan Dipanagara adalah Masjid Pajimatan Imogiri atau Masjid Kagungan Ndalem.
"Masjid Kagungan Ndalem adalah yang dimiliki raja (Mataram)," tulis Endah Tisnawati dan Dita Ayu Rani Natalia dalam Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 berjudul Tipologi Masjid Kagungan Dalem di Imogiri, Bantul yang terbit pada 2017.
Pada dasarnya, masjid ini dibangun oleh Sultan Agung, Raja Mataram pada tahun 1650. Diberi nama "Kagungan Ndalem" atau kepemilikan abdi dalem karena merujuk pada masjid tempat peribadatan para abdi dalem kerajaan yang berjaga di kawasan Imogiri.
Masjid ini berada di kompleks pemakaman para raja Jawa di Imogiri, tepatnya berada di
Konon, di tempat inilah Pangeran Dipanagara mulai tumbuh dengan pemahaman Islam yang kuat. Ia tumbuh dan dibesarkan oleh eyang buyutnya yang merupakan istri dari Hamengkubuwana I, Nyai Ageng Tegalrejo.
Dipanagara yang merupakan putra dari Hamengkubuwana III kerap diajaknya ke masjid ini sejak kecil. Inilah yang kemudian membuat masjid ini terasa spesial bagi Dipanagara.
Sepanjang momentum Ramadan selalu jadi salah satu ajang bagi Dipanagara untuk menyendiri dan menemukan ilham dalam mendekatkan diri kepada Allah. Dari jumat ke jumat dijadikannya tempat khusyuk untuk beribadah dan salat jumat bersama para abdinya.
Tidak hanya di Masjid Pajimatan Imogiri saja, selama Ramadan, Dipanagara memiliki banyak waktu untuk bermunajat kepada Allah seperti yang dilakukannya pada tahun 1825. Di bulan suci ini digunakannya untuk menyendiri di gua Song Kamal di Pajimatan, Imogiri.
Ia mengisi waktunya selama bulan suci dengan berdzikir, namun dalam versi babad, disebutnya ia tengah samadi. Dalam suasana khusyuknya, ia mengaku bahwa ia didatangi oleh Sunan Kalijaga yang menyebut dirinya akan menjadi seorang raja kelak.
Dalam Babad Diponegoro, disebutkan bahwa setelahnya Dipanagara menjadi gusar. Ia lantas menyibukkan dirinya dengan beriktikaf di Masjid Kagungan Ndalem yang juga dikenal dengan Masjid Pajimatan Imogiri.
Norbertus Gilang menulis dalam skripsinya yang berjudul Peran Masyarakat Dekso dalam Perang Jawa 1825-1830 yang terbit pada tahun 2013, menyebut bahwa dalam tidurnya ketika iktikaf, seseorang berwajahkan cahaya mendatanginya, menyebutnya kelak akan menjadi sang Ratu Adil bagi masyarakat Jawa.
Mimpi itu menjadi pertanyaan besar dalam benak Dipanagara. Namun, itu terjadi berulang kali selama iktikafnya di bulan Ramadan. Hingga sampai akhirnya, sesuatu hal besar terjadi dalam hidup sang pangeran.
Dipanagara akhirnya memutuskan keluar dari istana Mataram karena jiwa asketisnya sebagai seorang muslim yang sudah tak kerasan dengan budaya keraton.
Budaya Jawa berbalut ajaran Islam kian berbaur dan bercampur dengan budaya Barat yang dianggapnya melanggar aturan agama dan budaya.
Baca Juga: Silaturahmi Belanda Saat Lebaran, Berujung Petaka bagi Dipanagara
Baca Juga: Tabir Mimpi Dipanagara Mendorong Meletusnya Perang Jawa 1825
Baca Juga: Perenungan Pangeran Dipanagara pada Alam: Siasat Hidup Ratu Adil
Baca Juga: Hulptroepen, Satuan Lokal Hindia-Belanda dalam Perang Dipanagara
Baca Juga: Babad Dipanagara dan Sosok Pangeran Dipanagara Sebagai Manusia
Tatkala keluar dari istana, ia juga dihadapkan pada dua sisi, dimana saat ia mulai tak cocok dengan kehidupan di dalam istana, Dipanagara juga melihat sebegitu menderitanya masyarakat di luar istana.
Alhasil, akibat sejumlah kenyataan yang ia hadapi, tabir mimpi Dipanagara mengarahkannya pada penjelasan akan takdirnya kelak sebagai sang Ratu Adil di Jawa.
Berdasar pada tabir mimpi-mimpi inilah, maka Dipanagara lekas terbangun dan meyakinkan dirinya untuk memerangi kolonialisme Belanda. Ia memimpin perang terbesar sepanjang sejarah Jawa yang dimulai pada Juli 1825, disebut dengan Perang Jawa.
Source | : | Repository USD,Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR