Nationalgeographic.co.id—Orang yang sering aktif berinteraksi secara sosial kerap memandang orang yang kesepian menderita. Kita sering melihat beberapa orang menikmati berpelesiran sendirian di tanah yang asing. Mereka terputus dari kerabat dan rekan-rekan mereka untuk beberapa waktu.
Namun, memilih kondisi atau hidup penuh dengan kesendirian, membuat kita menghadirkan berbagai ide dan kebijaksanaan.
Ada banyak tokoh terkenal yang menghasilkan pemikiran hebat dan berpengaruh setelah menjalani kondisi kesepian dan kesendiriannya. Misalnya, Sukarno yang menghasilkan pemikiran Pancasila sebagai ideologi ketika diasingkan di Ende, Nusa Tenggara Timur.
Kondisi kesepian membuat orang menghadirkan pemikiran baru dipahami secara psikologis. Studi tentangnya diterbitkan di jurnal Psychological Science bertajuk "Lonely Individuals Process the World in Idiosyncratic Ways" pada 7 April 2023 oleh para peneliti dari University of California Los Angeles (UCLA), AS.
Para peneliti melihat, respons saraf orang-orang yang kesepian berbeda dari orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa setiap orang yang kesepian punya cara melihat dunia yang berbeda.
Elisa Baek, penulis utama makalah bersama timnya mendapatkan hasil penelitian ini dengan membandingkan hasi pemindaian pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI) dari 63 mahasiswa tahun pertama.
Dalam pengamatannya, setiap mahasiswa dipindai setiap 90 menit. Selama proses pemindaian, mahasiswa menyaksikan 14 klip video menarik. Setelah itu, mereka menjelaskan perasaan hubungan sosialnya dengan Skala Kesepian yang dikonsepkan oleh UCLA.
Penelitian berlanjut dengan lingkup sosial. 63 mahasiswa itu mengisi survei jejaring sosial mereka selama ini, seperti daftar nama orang yang selalu mereka ajak belajar bersama, makan, atau nongkrong selama beberapa bulan pertama sebagai mahasiswa.
Baek dan tim membagi hasil survei mahasiswa menjadi dua kelompok. Kelompok pertama dilabeli "kesepian" dengan mahasiswa yang punya skor lebih tinggi pada skala kesepian dari kelompok kedua yang tidak kesepian.
Mereka yang telah dibagi dalam dua kelompok, hasil pemindaiannya dibandingkan. Para peneliti menemukan adanya aktivitas otak peserta yang kesepian berbeda dari yang tidak kesepian.
Rincinya, aktivitas otak yang diamati adalah jaringan model default (DMN). Jaringan ini adalah bagaimana aktivitas otak tampak terkait dengan menafsirkan arti sesuatu yang dilihatnya. Dalam hal konteks kesepian dan tidak kesepian, DMN memproses makna narasi dan persahabatan.
Peserta yang tidak kesepian menurut konsep yang ditawarkan UCLA punya aktivitas DMN yang sama dengan peserta yang punya jenis kesepian lain. Aktivitas otak itu termasuk pada bagian area yang berhubungan dengan kehadiran orang lain.
Menurut para peneliti, temuan ini tetap signifikan, bahkan ketika para peneliti mengontrol karakteristik demografis dan ukuran jaringan sosial para peserta.
"Orang yang kesepian memproses dunia secara istimewa, yang dapat berkontribusi pada berkurangnya rasa dipahami yang sering menyertai kesepian," jelas para peneliti dalam makalahnya.
Mengutip Eurekalert, Baek mengatakan "kami menemukan bahwa individu yang kesepian sangat berbeda dengan teman sebayanya dalam cara mereka memproses dunia di sekitar mereka (…) bahkan ketika mempertimbangkan jumlah teman yang mereka miliki."
Dari sinilah, para peneliti berpendapat bahwa saraf orang yang kesepian punya aktivitas yang berda dari orang lain yang sering bersosialisasi. Disimpulkan, orang yang kesepian "melihat dunia secara berbeda dari orang-orang di sekitar Anda dapat menjadi faktor risiko kesepian, bahkan jika Anda secara teratur bersosialisasi dengan mereka," tutur Baek.
Baca Juga: Mengapa Orang Ramah LGBT Masih Enggan Bertetangga dengan Homoseksual?
Baca Juga: Populasi Dunia Akan Berkurang Sekitar 2 Miliar Akhir Abad Ini
Baca Juga: 'Childfree' Bukan Hal Baru, Sejarah Mencatat Argumen yang Berulang
Baca Juga: Fakta: Orang Gangguan Jiwa, Tertarik pada Pasangan Punya Gangguan Jiwa
Namun, Baek menyarankan faktor lain yang menyebabkan hasil mengapa orang kesepian justru punya pandangan lain.
Tahun 2016, sebuah studi di British Journal of Psychology punya pandangan lain tentang kebiasaan orang dengan pikiran cerdas. Laporan itu mengatakan bahwa orang dengan IQ di atas rata-rata cenderung menyendiri, tetapi bukan karena tidak mau bergaul. Mereka hanya ingin berteman atau kelompok yang cerdas juga.
Alasannya, pertemanan yang berkualitas membantu pemecahan tantangan unik. Permasalahan unik ini tidak bisa diterapkan jika bergaul dengan orang biasa jika dijadikan teman.
Hal ini pun berhubungan dengan teori kebahagiaan sabana yang merupakan kajian evolusi. Secara sederana, teori ini disebabkan dua faktor: kepadatan penduduk dan seberapa sering manusia bersosialisasi sesama.
Nenek moyang kita yang bisa bertahan, cenderung menyesuaikan diri agar cocok dengan cara hidup kehidupan sebagai pemburu-pengumpul dengan beramai-ramai. Namun, ketika peradaban semakin maju dalam perkotaan padat penduduk, manusia punya perilaku untuk berinteraksi dengan orang yang dikenalinya sebagai "berkualitas".
"Secara umum, individu yang lebih cerdas cenderung memiliki preferensi dan nilai yang 'tidak wajar' yang tidak dimiliki nenek moyang kita," kata Kanzawa dikutip dari Inverse. "Sangat wajar bagi spesies seperti manusia untuk mencari dan menginginkan persahabatan dan, sebagai akibatnya, individu yang lebih cerdas cenderung kurang mencari mereka."
Source | : | Inverse,Eurekalert |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR