Menurut para peneliti, temuan ini tetap signifikan, bahkan ketika para peneliti mengontrol karakteristik demografis dan ukuran jaringan sosial para peserta.
"Orang yang kesepian memproses dunia secara istimewa, yang dapat berkontribusi pada berkurangnya rasa dipahami yang sering menyertai kesepian," jelas para peneliti dalam makalahnya.
Mengutip Eurekalert, Baek mengatakan "kami menemukan bahwa individu yang kesepian sangat berbeda dengan teman sebayanya dalam cara mereka memproses dunia di sekitar mereka (…) bahkan ketika mempertimbangkan jumlah teman yang mereka miliki."
Dari sinilah, para peneliti berpendapat bahwa saraf orang yang kesepian punya aktivitas yang berda dari orang lain yang sering bersosialisasi. Disimpulkan, orang yang kesepian "melihat dunia secara berbeda dari orang-orang di sekitar Anda dapat menjadi faktor risiko kesepian, bahkan jika Anda secara teratur bersosialisasi dengan mereka," tutur Baek.
Baca Juga: Mengapa Orang Ramah LGBT Masih Enggan Bertetangga dengan Homoseksual?
Baca Juga: Populasi Dunia Akan Berkurang Sekitar 2 Miliar Akhir Abad Ini
Baca Juga: 'Childfree' Bukan Hal Baru, Sejarah Mencatat Argumen yang Berulang
Baca Juga: Fakta: Orang Gangguan Jiwa, Tertarik pada Pasangan Punya Gangguan Jiwa
Namun, Baek menyarankan faktor lain yang menyebabkan hasil mengapa orang kesepian justru punya pandangan lain.
Tahun 2016, sebuah studi di British Journal of Psychology punya pandangan lain tentang kebiasaan orang dengan pikiran cerdas. Laporan itu mengatakan bahwa orang dengan IQ di atas rata-rata cenderung menyendiri, tetapi bukan karena tidak mau bergaul. Mereka hanya ingin berteman atau kelompok yang cerdas juga.
Alasannya, pertemanan yang berkualitas membantu pemecahan tantangan unik. Permasalahan unik ini tidak bisa diterapkan jika bergaul dengan orang biasa jika dijadikan teman.
Hal ini pun berhubungan dengan teori kebahagiaan sabana yang merupakan kajian evolusi. Secara sederana, teori ini disebabkan dua faktor: kepadatan penduduk dan seberapa sering manusia bersosialisasi sesama.
Nenek moyang kita yang bisa bertahan, cenderung menyesuaikan diri agar cocok dengan cara hidup kehidupan sebagai pemburu-pengumpul dengan beramai-ramai. Namun, ketika peradaban semakin maju dalam perkotaan padat penduduk, manusia punya perilaku untuk berinteraksi dengan orang yang dikenalinya sebagai "berkualitas".
"Secara umum, individu yang lebih cerdas cenderung memiliki preferensi dan nilai yang 'tidak wajar' yang tidak dimiliki nenek moyang kita," kata Kanzawa dikutip dari Inverse. "Sangat wajar bagi spesies seperti manusia untuk mencari dan menginginkan persahabatan dan, sebagai akibatnya, individu yang lebih cerdas cenderung kurang mencari mereka."
Source | : | Inverse,Eurekalert |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR