Nationalgeographic.co.id—Sudah lebih dari delapan miliar populasi manusia hari ini. Ketahanan pangan dunia menjadi hal yang harus dikhawatirkan, karena semua orang membutuhkan makanan demi bertahan hidup.
Masalahnya, tantangan manusia di masa depan adalah perubahan iklim yang menyebabkan berbagai dampak hari ini. Tidak jarang penipisan sumber daya alam, erosi, bencana, dan polusi membuat tantangan bagi sektor pertanian di dunia.
Selain itu, di Indonesia, menurut peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Lukas Nainggolan, semakin sedikitnya minat anak muda bekerja di bidang pertanian.
Hal itu disebabkan rendahnya kesejahteraan petani, rentannya dunia pertanian yang bergantung pada sistem kerja alam, dan sedikitnya dorongan sosial terhadap pekerjaan petani—Terkait populasi dan regenerasi petani, bisa Sahabat simak selengkapnya dalam majalah National Geographic Indonesia edisi April 2023.
Sementara, sebagai jawaban permasalahan pangan, sawah terus dibuka dengan mengalihfungsikan lahan hutan. Meski menjawab pasokan pangan, perubahan fungsi berdampak pada berubahnya sistem ekologi dan ekosistem di hutan. Akhirnya justru krisis iklim tidak terbendung, sehingga berbagai dampak bencana dihadapi manusia.
Sepertinya kita memerlukan taktik baru dalam memenuhi kebutuhan pangan. Sebuah makalah di PNAS Nexus, dipublikasikan Maret 2023, menawarkan desain rancangan agrikultur yang melibatkan teknologi. Penelitian ini dipimpin oleh Barath Raghavan, profesori ilmu komputer di University of Southern California (USC), AS.
Raghavan menyebutnya sebagai "agroekologi komputasi" sebagai bidang penelitian baru yang menyatukan teknologi dan keahlian pertanian. Penelitian seperti ini bisa mengembangkan pemahaman bidang pertanian yang beragam berdasarkan ekosistem alami.
“Bagaimana kita bisa merancang ekosistem yang produktif dan lestari seperti hutan alam, tapi bukannya menghasilkan makanan untuk satwa liar, malah menghasilkan makanan untuk manusia?” kata Raghavan, dalam rilis USC.
“Ini masalah yang sangat sulit karena merancang ekosistem adalah sistem alami yang sangat kompleks, dinamis. Kami mencoba membuat alat komputasi yang dapat mengetahui cara kerja ekosistem, sehingga kami dapat menanam makanan secara berlimpah dan berkelanjutan.”
Pemahaman ini bermula dari kebiasaan Rahavan menanam 150 tanaman berbeda yang bisa dimakan di halaman rumahnya. Dia pun menaruh minat pada komputasi bisa bekerja pada pertanian berkelanjutan.
Melalui agroekologi komputasi ini, Raghavan menerangkan, bahwa petani akan terbantukan dalam pemilihan tanaman. Selain itu, memungkinkan petani untuk pemilihan penanaman, irigasi, dan mengeksplorasi desain potensial yang berbeda.
Dengan demikian dapat mengoptimalkan produksi pangan lebih hijau. Hal itu juga termasuk bebas pestisida yang berasal dari bahan bakar fosil. "Cara berpikir yang benar-benar baru tentang pertanian,” tuturnya.
Kala Terbunuhnya De Bordes oleh Depresi, Jadi 'Sejarah Kecil' di Hindia Belanda
Source | : | EurekAlert! |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR