"Jadi kalau kita anak-anak tidak bisa injak-injak rumput, takut terluka," lanjutnya. Peluru dan peninggalan lainnya masih banyak yang aktif. Tidak jarang peninggalan-peninggalan ini bisa meledak jika tidak sengaja terinjak. Alex pernah menemukan salah satu yang aktif di kebunnya. Dia tidak berani mengambilnya, dan memutuskan menguburnya dalam-dalam.
Pria yang kini berusia 76 tahun itu mengakui, sebagian dari temuan dijual karena jenisnya serupa sudah banyak. Namun, yang langka, disimpannya "agar bisa cerita dengan, ada Perang Dunia di sini. Mana buktinya? Ini buktinya," tutur Alex.
Di depan rumahnya, Alex memamerkan koleksinya. Yang disimpannya adalah peluru artileri, beberapa peluru kecil, peralatan makan dan minum, pisau, dan botol kaca Coca Cola. Jelas, peninggalan-peninggalan ini milik Sekutu. Peninggalan ini kerap ia bersihkan dengan lap. Pisau pun diasah agar tetap tajam.
Alex tidak sendiri, warga kampung banyak yang juga mengoleksi peninggalan Perang Dunia II. Masalahnya, mereka mengakui bahwa perawatan yang dilakukan kurang optimal supaya menjaga keutuhannya.
"Saya berharap Dinas Pendidikan datang ke sini tidak hanya melihat-lihat. Bantu kami merawatnya," ujarnya. Dia berharap, ada museum peninggalan Perang Dunia II di Werur seperti yang diterapkan di Biak.
Gejolak Perang Dunia II
Pada masa Perang Dunia II, sebelum Jepang tiba ke Papua, spionase terhadap Sekutu sudah dilakukan lewat berbagai bidang usaha swasta.
Menurut peneliti Badan Pelestarian Nilai Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Anna M. F. Parera bersama rekan-rekan, pemerintah Hindia Belanda sebenarnya tidak ingin perusahaan Jepang beroperasi di Papua. Dalam buku bertajuk "Sausapor Saksi Sejarah Perang Dunia II di Kabupaten Tambrauw Provinsi Papua Barat", pemerintah membutuhkan sumber dari swasta untuk pemasukan devisa.
Kemudian, Jepang kian berambisi menguasai Asia Pasifik setelah berhasil menyerang pangkalan militer AS di Pearl Harbor, Hawaii. Hindia Belanda pun dilirik Jepang sebagai sumber minyak dan karet. Belanda pun harus tunduk pada kekuatan militer Jepang pada 1942.
Jepang pun berhasil menduduki Jayapura pada 19 April 1942. Otomatis, kota ini kemudian menjadi pangkalan pertahanan Jepang di Papua selama Perang Dunia II. Jepang juga membangun pangkalannya di Biak untuk menyimpan logistik dan tempat persembunyian.
Kemudian, pergerakan tentara Jepang semakin ke Barat, termasuk di Sausapor, Kabupaten Tambrauw. "Tentara Jepang melakukan teror untuk menakut-nakuti penduduk setempat untuk tidak melakukan perlawanan kepada tentara Jepang," jelas Anna dan rekan-rekan.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR