Nationalgeographic.co.id - Sekitar lima hingga tujuh kendaraan perang terbengkalai di Kampung Esmambo, Distrik Bikar, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya. Kendaraan perang ini adalah jenis LVT yang berfungsi mengangkut tentara. Dari gayanya, jelas ini merupakan kendaraan perang milik Amerika Serikat yang memipin Sekutu di kancah Asia-Pasifik.
Kendaraan jenis LVT, sebenarnya dilengkapi dengan senapan mesin yang bisa menembak saat dikendarai. Namun, ketika saya melihat kumpulan kendaraan ini, beberapa di antaranya tidak memiliki senapan itu. Bagian-bagian penting lainnya juga sudah tidak ada karena diambil oleh tangan usil.
Sekitar satu hingga tiga kilometer ke utara, Samudra Pasifik terbentang. Saya menduga bahwa kendaraan ini diturunkan dari kapal persis di pesisir ini, kemudian ditarik hingga ke pedalaman hutan. Hal itu ditunjukkan dengan lahan luas terbuka, memanjang sampai ke pesisir, dan ujung satunya ke pos masuk tempat wisata ini.
"Di sini dulunya kota," kata Hans Mambrasar, tetua adat Biak Karon yang menemani perjalanan kami. "Kota? Kota seperti apa?" tanya saya yang merasa aneh jika ia menyebut pernah ada kota yang berdiri di sini. Sebab, pepohonan di sini berukuran besar dan menjulang tinggi, menandakan usianya yang mungkin hampir satu abad.
"Ada tenda, ada api, ada tempat senjata di sini," lanjut Hans. Barulah saya mengerti bahwa maksud 'kota' adalah perkemahan tempat militer Sekutu.
Seperti yang disebutkan di awal, tempat ini terbengkalai. Pos penjaga situs terlihat kumuh. Situs ini dipegang oleh Tinus yang bekerja sebagai sekretaris kampung, karena berada kendaraan-kendaraan perang tersebut berada di kawasan tanah keluarganya.
Tempat ini sepi pengunjung. Selain itu, tidak adanya informasi di peta Google, membuatnya jarang disambangi publik. Meski demikian, Tinus mengatakan kepada saya, setiap tahun pasti ada pengunjung yang datang, dan belakangan jumlahnya meningkat.
Tahun 2021, kawasan ini sempat diperbaiki atas inisiatif Wakil Bupati Tambrauw, Mesak Metusala Yekwam. Kawasannya dibersihkan dan ditambahkan jembatan kayu untuk akses ke peninggalan tank dari pintu depan. Pemerintah Kabupaten Tambrauw menyadari, tempat ini berpotensi wisata yang tinggi.
Sayangnya, setiba saya di sana jembatan-jembatan itu terbengkalai, kotor dengan dedaunan yang jatuh dari pohon. "Siapa yang mau membersihkan? Saya dan keluarga tidak sanggup. Kebun ini luas," ujar Tinus. "Uangnya tidak ada untuk bersih-bersih, pengunjung juga jarang" Ia pun berharap supaya pemerintah kabupaten juga menyediakan insentif perawatan, tidak hanya sekadar membangun.
Ada pula Alex Mambrasar di kampung Werur, Kabupaten Tambrauw. Dia mengoleksi temuan-temuan Perang Dunia II sejak masih muda di perkebunan keluarganya. "Kampung ini masih banyak benda-benda tajam--besi-besi (sisa peninggalan Sekutu)," jelasnya. Sampai saat ini, peninggalan itu masih banyak yang terkubur di bawah tanah.
"Jadi kalau kita anak-anak tidak bisa injak-injak rumput, takut terluka," lanjutnya. Peluru dan peninggalan lainnya masih banyak yang aktif. Tidak jarang peninggalan-peninggalan ini bisa meledak jika tidak sengaja terinjak. Alex pernah menemukan salah satu yang aktif di kebunnya. Dia tidak berani mengambilnya, dan memutuskan menguburnya dalam-dalam.
Pria yang kini berusia 76 tahun itu mengakui, sebagian dari temuan dijual karena jenisnya serupa sudah banyak. Namun, yang langka, disimpannya "agar bisa cerita dengan, ada Perang Dunia di sini. Mana buktinya? Ini buktinya," tutur Alex.
Di depan rumahnya, Alex memamerkan koleksinya. Yang disimpannya adalah peluru artileri, beberapa peluru kecil, peralatan makan dan minum, pisau, dan botol kaca Coca Cola. Jelas, peninggalan-peninggalan ini milik Sekutu. Peninggalan ini kerap ia bersihkan dengan lap. Pisau pun diasah agar tetap tajam.
Alex tidak sendiri, warga kampung banyak yang juga mengoleksi peninggalan Perang Dunia II. Masalahnya, mereka mengakui bahwa perawatan yang dilakukan kurang optimal supaya menjaga keutuhannya.
"Saya berharap Dinas Pendidikan datang ke sini tidak hanya melihat-lihat. Bantu kami merawatnya," ujarnya. Dia berharap, ada museum peninggalan Perang Dunia II di Werur seperti yang diterapkan di Biak.
Gejolak Perang Dunia II
Pada masa Perang Dunia II, sebelum Jepang tiba ke Papua, spionase terhadap Sekutu sudah dilakukan lewat berbagai bidang usaha swasta.
Menurut peneliti Badan Pelestarian Nilai Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Anna M. F. Parera bersama rekan-rekan, pemerintah Hindia Belanda sebenarnya tidak ingin perusahaan Jepang beroperasi di Papua. Dalam buku bertajuk "Sausapor Saksi Sejarah Perang Dunia II di Kabupaten Tambrauw Provinsi Papua Barat", pemerintah membutuhkan sumber dari swasta untuk pemasukan devisa.
Kemudian, Jepang kian berambisi menguasai Asia Pasifik setelah berhasil menyerang pangkalan militer AS di Pearl Harbor, Hawaii. Hindia Belanda pun dilirik Jepang sebagai sumber minyak dan karet. Belanda pun harus tunduk pada kekuatan militer Jepang pada 1942.
Jepang pun berhasil menduduki Jayapura pada 19 April 1942. Otomatis, kota ini kemudian menjadi pangkalan pertahanan Jepang di Papua selama Perang Dunia II. Jepang juga membangun pangkalannya di Biak untuk menyimpan logistik dan tempat persembunyian.
Kemudian, pergerakan tentara Jepang semakin ke Barat, termasuk di Sausapor, Kabupaten Tambrauw. "Tentara Jepang melakukan teror untuk menakut-nakuti penduduk setempat untuk tidak melakukan perlawanan kepada tentara Jepang," jelas Anna dan rekan-rekan.
Namun situasi berubah pada April 1944. Tentara Sekutu berhasil mendarat di Jayapura dengan rangkaian serangan bom. Pertahanan Jepang berhasil dipatahkan. Selama 1944, Sekutu menggunakan strategi "loncat katak", menyapu habis kawasan yang dikuasai Jepang.
Jenderal AS Douglas MacArthur yang mencetuskan ide ini. Dia berambisi menyerang Jepang melalui Filipina, dengan menyapu Biak, Sausapor, hingga Morotai di Maluku.
Di Kabupaten Tambrauw, Sekutu datang pada 27 Juli 1944, dilanjutkan dengan peringatan kepada masyarakat agar waspada kedatangan Sekutu oleh pihak mereka sendiri. Tanggal 31 Juli 1944, Sekutu mendarat di Pulau Middleburg--Pulau Satu, Werur. Selanjutnya, landasan udara dibangun di daratan utama Werur.
Serangan Sekutu terhadap Jepang berlangsung pada akhir Juli ini di Sausapor--kampung di sebelah barat Werur. Pertempuran ini dinamai Operasi Globetrotter. Pesawat tempur dalam invasi ini adalah jenis B-25 dan P38, sekaligus mendukung infanteri yang telah bersiaga.
Baca Juga: Festival Munara Beba: Usaha Pelestarian Adat Biak Karon & Alam Lautnya
Baca Juga: Perang Usai, Kenapa 3.500 Prajurit Perang Dunia II Masih 'Berpatroli'?
Baca Juga: AMRI, Gelora Pemuda Bantaeng Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Baca Juga: Para Kolektor Telusuri Puing Pertempuran Asia Pasifik di Rimbanya Biak
"Operasi Globetrotter berhasil memutuskan hubungan tentara Jepang di Manokwari dengan unit-unit Jepang lainnya. Mereka berusaha mundur ke Sorong. Namun, tentara Jepang di Sorong dan Makbon hingga Sausapor telah terdesak sehingga melarikan diri ke hutan," lanjut mereka.
Pasokan makanan Jepang telah habis, membuat mereka harus keluar dari persembunyian untuk memancing ikan. Pada saat inilah masyarakat di Papua menyerang pasukan Jepang.
Sampai saat ini, jejak-jejak Perang Dunia II masih bisa ditemukan di Tambrauw. Selain tank dan koleksi Alex Mambrasar, penduduk menggunakan sisa tank dan peralatan tempur sebagai properti rumah mereka. Misalnya, rantai tank mereka gunakan sebagai pagar, dan artileri dijadikan vas bunga.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR