Nationalgeographic.co.id—Jerman dan Kekaisaran Jepang bersekutu dalam sejarah Perang Dunia II. kedekatan keduanya tidak terlepas dari ideologi sayap kanan mereka yang tumbuh. Pada 1930-an, terdapat krisis ekonomi Depresi Hebat dan masalah politik yang dialami seluruh dunia.
Hal ini membuat sayap kanan di Jerman dan Jepang menentang dan ingin mengacaukan konsep sistem internasional. Masing-masing berkembang paham ultranasionalismenya oleh Hitler dan elite politik Jepang periode Showa.
"Kebencian terhadap hegemoni imperialis saat itu—Inggris dan Prancis—serta menggagalkan tujuan revisionis dan ekspansionis Jepang dan Jerman selama krisis ini memberikan titik temu antara kedua negara," tulis Jason Dawsey, sejarawan dan peneliti Study of War and Democracy Jenny Craig Institute di situs National WWII Museum.
Sejarah Perang Dunia II mencatat bahwa Kekaisaran Jepang punya ambisi seperti Nazi Jerman. Mereka punya rasa superioritas ras dari Asia, dengan bertujuan membangun kekuasaan di Asia Timur Raya.
Pandangan ini bermunculan karena bangsa Jepang sendiri, terutama setelah restorasi Meiji, hendak menjadi bangsa yang maju di bidang teknologi.
Paham ultranasionalisme Jepang hendak mengalahkan supremasi kulit putih. Pandangan ini justru terbalik dengan sekutunya di Jerman yang sangat pro-Arya—ideologi supremasi kulit putih.
Craig mengatakan, fenomena inilah yang membuat Adolf Hitler sebagai pemikir Nazi mulai mempertimbangkan bagaimana dunia dibagi berdasarkan ras.
Sebelum kecamuk sejarah Perang Dunia II, pada pertengahan 1930-an, Hitler lebih fleksibel untuk memikirkan Jepang sebagai mitra yang potensial untuk menguntungkan kemenangannya pada dunia. Ia mengesampingkan bahwa ras "non-Arya" hanya kepada orang Jepang.
Kembali lagi pada masalah internasional yang hancur karena krisis 1930, Hitler percaya bahwa Jepang punya nasib yang sama dengan Jerman.
Jepang adalah korban dari konspirasi internasional Yahudi. Orang Yahudi membenci Jepang karena negaranya di Asia yang tidak dapat ditaklukkan, menurut Hitler.
Meski demikian, Hitler tidak benar-benar menyukai orang Jepang. Baginya, orang Jepang adalah bangsa yang menjijikkan. Perlu diingat, saat itu Jepang masih identik dengan budayanya yang kolot dan dianggap sebagai negara miskin sebelum semaju hari ini.
Namun, fakta-fakta ini masih tidak memengaruhi Hitler dalam sejarah Perang Dunia II untuk menjadikan Jepang sebagai mitra.
Kesamaan paham antara Jepang dan Jerman muncul pada 1933. Saat itu, Jerman berhasil memusnahkan sisa-sisa terakhir Republik Weimar, dan Jepang bercokol penuh di Manchuria, Tiongkok. Jepang kemudian menarik diri dari Liga Bangsa-Bangsa.
"Bisa dibilang, pada tahun 1933, Jepang telah menyatakan dirinya sebagai kehadiran yang paling agresif dan mengganggu dalam tatanan internasional kontemporer. Sejak saat itu, militernya semakin memberikan pengaruh yang sangat besar pada urusan politik dan ekonomi," lanjut Dawsey.
Hitler pun mengikuti Jepang dengan menarik Jerman dari Liga Bangsa-Bangsa pada Oktober 1933. Hitler menilai, Jepang telah memberi contoh bahwa organisasi internasional yang penuh dengan 'kepentingan Inggris dan Prancis' itu bisa diancam. Inilah yang membakar gelora fasisme pada awal sejarah Perang Dunia II.
Hubungan Jerman dan Jepang mulai terjalin dalam babak awal sejarah Perang Dunia II. Pada 1939, menteri luar negeri Jerman Joachim von Ribbentrop menghubungi pengusaha dan diplomat Jerman di Jepang. Ia bertujuan menggenjot industri dan militer Jepang.
Jepang melihat itikad baik Jerman. Jerman memilih mundur dari segala hal yang berhubungan dengan Tiongkok di bawah Chiang Kai Shek yang berasal dari Partai Nasionalis Tiongkok (Kuomintang). Tokyo melihat perilaku ini menunjukkan bahwa Tiongkok adalah kepentingannya.
Hal ini dilandasi oleh persetujuan hubungan Jepang-Jerman dalam sebuah proposal yang diberikan kepada Ribbentrop. Proposal itu disampaikan oleh Atase Militer Jepang di Berlin, Hiroshi Oshima.
Oshima bahwa Jepang menentang komunisme tanpa secara eksplisit menyebut Uni Soviet. Selama ini pergerakan Jepang membuat khawatir Moskow.
Baca Juga: Balada Peninggalan Perang Dunia II di Tambrauw yang Terbengkalai
Baca Juga: Hirohito, Takhta Kaisar Jepang Terlama Melewati Masa Perang dan Damai
Baca Juga: Kehidupan Tragis Puyi, Kaisar Tiongkok Terakhir Sebagai Tawanan Soviet
Proposal ini kemudian berkembang menjadi Pakta Anti-Komintern, yang mendapat dukungan antusias dari Hitler. "Percakapan antara pemerintah Jepang dan Jerman menghasilkan kepercayaan," terang Dawsey. Hitler telah sejak lama berharap pada Jepang untuk mengguncangkan Uni Soviet dan bisa bersekutu dengan Tokyo.
Pakta ini kemudian mematangkan ikatan Jerman dan Jepang dalam sejarah Perang Dunia II. Mereka sepakat untuk satu sama lain tidak memberikan bantuan kepada Uni Soviet, jika Stalin menyerang negara lain.
"Ini adalah salah satu konjungtur yang sangat penting di abad ke-20. Keterbukaan Hitler untuk bekerja dengan Jepang dan tampak pragmatisme tentang rasisme fanatiknya, dikombinasikan dengan kerja keras Ribbentrop dalam merasakan kepentingan Jepang, dan ketakutan Kekaisaran Jepang sendiri terhadap gerakan Soviet menyatu dalam Poros Berlin-Tokyo yang baru," kesan Dawsey.
Source | : | National WW 2 Museum |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR