Nationalgeographic.co.id - Filosofi Yunani Kuno, Epikureanisme, sering dikritik sebagai semacam hedonisme. Kritik tersebut terlalu menyederhanakan arti hedonisme dan apa yang secara khusus diyakini oleh Epikuros.
Epikuros merupakan seorang filsuf Yunani Kuno yang mendirikan sebuah mazhab filsafat epikureanisme. Ia adalah seorang hedonisme tulen.
“Ya, Epikureanisme adalah sejenis hedonisme, tetapi mungkin tidak berarti seperti yang Anda pikirkan,” sebut Sam Shepards, pada laman owlcation.
Lantas, apa sebenarnya hedonisme itu? Mengapa hedonisme dalam sudut pandang Epikurean berbeda dengan jenis hedonisme modern.
Pada intinya, menurut Sam, hedonisme adalah sebuah filosofi yang menganjurkan hidup untuk mengejar kesenangan. Istilah itu sendiri berasal dari kata Yunani yang berarti kesenangan, ‘hedone’.
Jenis-jenis hedonisme sudah ada sejak zaman Yunani kuno. Filosofi hedonisme yang paling awal tercatat adalah filosofi Cyrenaic.
Cyrenaic merupakan seorang filsuf Yunani yang hidup pada abad ketiga sebelum masehi, yang percaya untuk memaksimalkan kenikmatan yang fana dari setiap momen. Sejak Cyrenaic, ada banyak jenis hedonisme yang berbeda.
Filosofinya sangat bervariasi karena kesenangan dapat berarti banyak hal yang berbeda. Bagi sebagian orang, kesenangan utamanya adalah sensasi tubuh yang berasal dari barang-barang fisik seperti makanan, minuman, atau kenikmatan tubuh lainnya.
Pada ukuran lain, kesenangan bersifat intelektual yang berasal dari pembelajaran serta kebijaksanaan. Lain lagi, mungkin menemukan kesenangan dalam masyarakat yang baik atau pencapaian moral.
Dalam banyak aliran hedonisme, kesenangan memiliki sisi lain: rasa sakit. Bagi beberapa hedonis, menghindari rasa sakit sama pentingnya (atau bahkan lebih penting) daripada mencapai kesenangan.
“Namun, arti rasa sakit dan kesenangan dapat bervariasi di antara setiap aliran filsafat,” tegas Sam.
Hedonisme Epikurus
Pada masanya dan berabad-abad setelahnya, Epicurus (sekitar 341-321 SM) sering dikritik oleh orang-orang yang meyakini bahwa "hedonisme" berarti pemanjaan terhadap kesenangan jasmani.
Namun, hedonisme Epicurean sebenarnya didasarkan pada kesederhanaan dan pengendalian diri. Epicurus percaya bahwa pemanjaan yang berlebihan akan menyebabkan rasa sakit.
Sebaliknya, ia dan para pengikutnya mengikuti pola makan sederhana dan tidak bercita-cita untuk mendapatkan kekayaan, ketenaran, atau harta benda yang berlebihan.
Jika seseorang mencoba mengikuti gaya hidup Epikurean saat ini, Anda mungkin akan lebih sering menemukannya duduk di taman yang sederhana alih-alih restoran mewah.
Bagi Epikuros, menghindari rasa sakit fisik dan mental adalah kuncinya. Ia juga berfokus untuk menghilangkan ketakutan dan keinginan yang tidak perlu.
Sam menjelaskan, Epikurean justru menemukan kesenangan dari persahabatan yang kuat, pembelajaran, dan kenangan indah.
Beberapa orang mungkin mengira bahwa hedonis adalah orang yang egois. Berbeda dengan Epicurus, ia membangun sekolah dan tempat tinggal komunal, berbagi semua yang ia miliki dengan sekelompok murid.
Dan karena Epikureanisme bertujuan untuk menghilangkan keinginan yang tidak perlu, Epicurean sejati tidak mengambil lebih dari apa yang mereka butuhkan atau bertindak atas dasar keserakahan.
“Hedonisme Epicurean, dalam bentuk aslinya, adalah tentang keseimbangan dan kesenangan yang tentram.”
Hedonisme pada Abad Kedelapan Belas dan Kesembilan Belas
Secara garis besar, filosofi hedonisme menitikberatkan pada kesenangan atau kenikmatan. Namun, ada beberapa aliran hedonisme modern yang secara khusus berbeda dengan filosofi Epikureanisme.
Beberapa pemikir paling berpengaruh di balik hedonisme modern adalah Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873), keduanya menganjurkan semacam "hedonisme utilitarian."
Sama seperti Epicurus, Jeremy Bentham berpendapat bahwa kebahagiaan adalah kebaikan tertinggi, dan kebahagiaan terdiri dari adanya kesenangan dan ketiadaan rasa sakit.
Namun, Bentham menggeser pemahaman tentang kebahagiaan ini untuk menjadikannya bersifat kolektif. “Ia berpendapat bahwa untuk bertindak secara etis, seseorang harus membuat pilihan yang memaksimalkan kebahagiaan setiap orang yang terkena dampak dari pilihan tersebut,” jelas Sam.
Sam menambahkan, Bentham juga percaya bahwa rasa sakit dan kesenangan dapat diukur secara kuantitatif dengan intensitas dan durasi.
“Bentham menggunakan perhitungan ini untuk mempromosikan reformasi sosial, seperti penghapusan perbudakan, kesejahteraan hewan, dan kebebasan individu yang lebih besar.”
John Stuart Mill membangun filosofi hedonis Bentham, dengan menambahkan bahwa orang harus membedakan antara kesenangan yang rendah, seperti sensasi tubuh, dan kesenangan yang lebih tinggi yaitu pikiran.
Baca Juga: Hedone, Dewi Kenikmatan Yunani dan Kaitannya di Kehidupan Modern
Baca Juga: Tiga Resep Bahagia Orang Finlandia, Salah Satunya Mensyukuri Alam
Baca Juga: Kaisar Romawi Juga Filsuf, Marcus Aurelius, Punya Gangguan Kecemasan
Perbedaan utama antara Mill dan Bentham di satu sisi, dan Epicurus di sisi lain, adalah bahwa Epicurus percaya bahwa kehidupan yang baik dan menyenangkan harus ditarik dari politik.
Bentham dan Mill menggunakan keyakinan hedonis mereka untuk membentuk reformasi sosial yang dirancang untuk membawa lebih banyak kebahagiaan bagi masyarakat.
Hedonisme Hari Ini
Saat ini, menurut Sam, Hedonisme telah tidak disukai sebagai filosofi moral atau politik. Banyak kritik yang berpusat pada kesulitan mendefinisikan kesenangan dan mempertahankan kesenangan sebagai kebaikan yang objektif.
Namun, banyak orang mengikuti versi hedonisme, yang sering kali mengacu pada visi Epikurean: tentang keseimbangan.
Ada juga yang menggunakan hedonisme untuk merujuk pada kehidupan yang menyenangkan: makan makanan mewah, minum anggur, menonton konser dan sebagainya.
Sam menegaskan,istilah hedonisme yang telah digunakan selama lebih dari 2.300 tahun, kini memiliki arti yang beragam.
“Jadi, jika seseorang mengatakan kepada Anda bahwa mereka adalah seorang hedonis, Anda harus bertanya apakah mereka seorang Epicurean, utilitarian, atau apakah mereka hanya menikmati makanan yang enak atau benar-benar suka memanjakan diri,” pungkas Sam.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR