Nationalgeographic.co.id—Di Indonesia, rakyat menjadi korban kekejaman para serdadu Jepang di masa perang. Sudah menjadi rahasia umum jika para serdadu itu tidak ragu untuk membantai atau menyiksa tawanannya, terutama di masa Perang Dunia Kedua.
Untuk mengetahui alasan serdadu Kekaisaran Jepang begitu brutal di masa perang, kita perlu mengurai sejarahnya.
Ekonomi Kekaisaran Jepang yang kian memburuk di masa perang
Sementara pembicaraan tentang konspirasi internasional berkecamuk, ekonomi Kekaisaran Jepang mengalami kerugian besar. Ini mengakibatkan pengangguran meluas di komunitas yang tak terhitung jumlahnya.
Bisnis tutup dan banyak warga menderita kelaparan. Ledakan populasi membuat kekaisaran kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Kekaisaran Jepang merasa bahwa kekuatan Barat turut andil kondisi Jepang yang tidak menguntungkan itu. Dibandingkan dengan sekutu Eropa dan Amerikanya, yang menguasai sebagian besar wilayah Asia Pasifik, Jepang justru dikelilingi oleh kolonialisme.
Invasi Kekaisaran Jepang ke Tiongkok
Di saat yang sama, Kekaisaran Jepang melakukan konfrontasi militer dengan tetangganya, khususnya Uni Soviet dan Tiongkok.
Kepentingan Jepang awalnya terletak di provinsi Tiongkok Manchuria. “Wilayah itu dipilih karena simpanan sumber daya alam yang kaya,” tulis Brad Webb di laman Independent Australia.
Dengan kedok pembangunan ekonomi, Kekaisaran Jepang mulai merayu panglima perang lokal Chang Tso-lin. Menjelang akhir 1920-an, Jepang memantapkan dirinya dalam ekonomi Manchuria. Kekaisaran Jepang bahkan mendirikan pangkalan untuk 80.000 Tentara Kwantang yang kuat.
Dengan alasan untuk memobilisasi, Jepang memicu insiden di sepanjang Jalur Kereta Api Manchuria Selatan pada bulan September 1931. Pada musim gugur tahun 1932, seluruh Manchuria berada di bawah kendali Jepang.
Pada tahun 1933, Jepang menjadi kekaisaran pertama yang menarik diri dari Liga Bangsa-Bangsa. Saat itu, Tiongkok meminta penyelidikan atas pendudukan Jepang.
Source | : | Independent Australia |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR