Direvitalisasi oleh kudeta mereka, Kekaisaran Jepang memulai kampanye militer yang bertujuan untuk menggoyahkan Tiongkok Utara.
Khawatir terhadap kekuatan bersatu Partai Rakyat Tiongkok dan Partai Komunis Tiongkok, Jepang melancarkan serangan pencegahan terhadap Tiongkok.
Perang Sino-Jepang (1937) memungkinkan Jepang mencari wilayah baru untuk ditempati dan aset baru untuk dieksploitasi. Sumber daya yang baru diperoleh ini membuat Jepang tidak lagi harus bergantung pada bahan yang diimpor dari negara lain.
Alasan mengapa serdadu Kekaisaran Jepang bisa begitu brutal di masa perang
Dengan keengganan Kaisar Jepang untuk memimpin rakyatnya menjauh dari konflik bersenjata, Jepang tampaknya berada dalam cengkeraman bushido, jalan para pejuang.
Pemerintah Imperial menolak untuk didikte oleh pemerintah Inggris ketika berkaitan dengan urusan Asia. Kebanggaan dan harga diri Kekaisaran Jepang menyangkal kemampuannya untuk berkompromi.
Kekaisaran Jepang percaya bahwa ia memiliki hak berdaulat untuk memerintah, untuk menjadi “Terang Asia Timur Raya”. Pada akhirnya, Kekaisaran Jepang merasa menjadi “Terang Dunia”.
Orang Jepang merasa bahwa dengan menyerah, kekaisaran mereka akan mempermalukan dirinya sendiri di depan dunia.
Serdadu Kekaisaran Jepang percaya bahwa mereka adalah pedang dewa; perwujudan dari kehendak Kaisar Jepang. Diturunkan dari dewa dan ditakdirkan untuk menguasai orang-orang yang lebih rendah, semangat Kaisar Hirohito selalu menyertai para serdadu.
Di bawah kode etik serdadu Kekaisaran Jepang, menyerah adalah aib yang tak terkatakan. Tahanan harus dihina dan diperlakukan sebagaimana mestinya. Kekaisaran Jepang tidak mematuhi konvensi Jenewa atau Den Haag yang melindungi tawanan perang dan warga sipil dari perlakuan buruk.
Ketika Kekaisaran Jepang memulai perangnya di Pasifik, kemenangan awal terjadi dengan cepat dan menghancurkan. Jatuhnya Singapura melumpuhkan Inggris di Asia.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Source | : | Independent Australia |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR