Raden Prasena dijadikan sebagai tawanan perang, yang kemudian oleh Sultan Agung dijadikannya sebagai abdi dalem kraton yang harus mematuhi segala peraturan tata krama keraton.
Tatkala ditawannya, dibenak Raden Prasena selalu terlintas dan terbesit kenangan pahit sanak saudaranya yang tewas di tangan Sultan Agung kala Mataram melakukan invasinya ke Madura.
Raden Prasena menyadari hal itu. Namun, berkat ketegaran dan berjiwa besar, ia berusaha untuk menepiskan kenangan kelam yang menyakitkan itu, sehingga tak sedikitpun tampak raut kesedihan di wajahnya.
"Kepribadiannya yang luhur, perangai terpuji, sopan santun, serta terampil dalam melaksanakan tugas, membuatnya menunjukkan suatu dedikasi yang luhur terhadap kraton Mataram," sambung Nisa'.
Integritas kerja, loyalitas dan dedikasi yang tinggi yang ditunjukkan oleh Raden Prasena, membuat Sultan Agung luluh, begitu juga dengan seisi istana Mataram yang menaruh simpati padanya.
Ketulusan hatinya mengabdi kepada Kraton Mataram, membuatnya dijadikan sebagai anak angkat dari Sultan Agung. Sejak saat itu, Raden Prasena memiliki hak dan perlakuan sama dengan putera raja.
"Keberhasilan Mataram menaklukan Madura, membuat Sultan Agung berkeinginan untuk menunjuk penguasa Madura di bawah kendali Mataram," pungkasnya.
Raden Prasena yang telah lama mengabdikan dirinya untuk Mataram di Surakarta, cukup mampu memimpin kerajaan di Madura, baik dipandang dari segi kepribadian maupun dari segi jiwa kepemimpinan yang dimilikinya.
Atas pemikiran dan pertimbangan yang matang, Sultan Agung berkehendak untuk mengangkat Raden Prasena menjadi seorang raja di Madura.
Raden Prasena akhirnya dinobatkan sebagai raja di Madura pada 23 Desember tahun 1624 M, dengan gelar Pangeran Cakraningrat I.
Penobatannya bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal tahun 1045 Hijriyah, bersamaan dengan Peringatan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dirayakan sebagai grebek maulud di Kraton.
"Kesabaran Raden Prasena yang bergelar Cakraningrat I berbuah manis, ia mendapat berbagai hak istimewa sebagai buah dari ketabahannya dan pengabdiannya yang luhur sebagaimana didikan ibunya," tutup Nisa'.
Dengan begitu, ia menjadi pemimpin Mataram di Madura yang pada perjalanannya, Cakraningrat I telah terlibat urusan politik yang sibuk di jalur perairan Sungai Bengawan Solo untuk tetap sowan (berkunjung) ke Kraton Mataram di Yogyakarta.
Source | : | Puncak Kekuasaan Mataram (1986) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR