Nationalgeographic.com—Selama berabad-abad, Kekaisaran Jepang berdiri dengan berbagai kaisar yang memimpin pada masanya. Penting bagi seorang kaisar bisa mengerti asal-usulnya demi memperkuat posisinya secara budaya dan kepercayaan yang melekat pada masyarakat, Shinto.
Yang paling berpengaruh untuk menarik garis sililah dan sejarah panjang dari keluarga Kekaisaran Jepang adalah dengan membaca kembali Kojiki. Naskah ini bisa dibilang sebagai naskah tertua di Jepang yang diperkirakan sudah ada pada abad ke-7 Masehi.
Isi dari Kojiki melingkupi asal-usul penciptaan alam semesta, mitologi Jepang, hingga pada masa Kekaisaran Jepang periode Kaisar Suiko—kaisar perempuan pertama Jepang, yang berkuasa pada 593-628.
Di luar kegunaan untuk penelusuran sejarah kaisar, kojiki bisa dibilang sebagai upaya masyarakat untuk mengumpulkan ragam mitologi Jepang ke dalam bentuk tulisan. Diperkirakan, masa pasti pembuatannya dilakukan pada 620 M di bawah naungan Pangeran Shotoku dan Soga no Umoku. Proyek penulisan ini jelas menjadi "catatan dasar" atau "catatan nasional" yang penting.
Isinya memang menceritakan secara runut sejarah Kekaisaran Jepang. Namun, seperti peradaban kuno lainnya, cerita sejarahnya dibalut dengan ragam mitologi dan penciptaan yang melibatkan para dewa-dewi. Semua mitologinya identik dengan agama Shinto.
Kojiki ditulis dalam bahasa Jepang, tetapi penulisannya menggunakan aksara kanji (aksara Tionghoa). Ada juga beberapa bagian menggunakan bahasa Tionghoa klasik. Biasanya penggunaan bahasa Tionghoa terletak pada syair dan cerita mitologi Jepang, nama-nama orang, nama-nama barang yang diterapkan setiap suku kata.
Dalam sejarah perkembangan tulisan dan bahasa Jepang, pada masa ini masih dipengaruhi unsur Tionghoa. Aksara katakana dan hiragana yang sederhana bagi orang Jepang, baru ada pada abad kesembilan.
Para ahli berpendapat, kumpulan naskah mitologi Jepang ini mungkin menjadi babak baru bagi orang Jepang dalam menciptakan bahasa mereka. Aksara kanji tampak mulai berbeda dari aksara Tionghoa, setelah sebelumnya memiliki akar yang sama secara historis. Namun, mengenai asal-usul bahasa Jepang sendiri masih banyak teka-teki.
Naskah Kojiki dibagi tiga jilid yang secara berturut-turut disebut Kamitsumaki, Nakatsumaki, dan Shimotsumaki. Pada jilid Kamitsumaki, berisi tentang penciptaan dunia dan para dewa atau biasa disebut Zaman Para Dewa. Di sinilah mitologi Jepang paling dasar bermula.
Dunia bermula ketika dua dewa dewi primordial agama Shinto, Izanami dan Izanagi menciptakan kepulauan di Jepang. Setelah itu, keduanya melahirkan banyak dewa-dewi yang dihormati dalam agama Shinto.
Selanjutnya, manusia pun diciptakan dengan kaisar pertama mereka adalah Jimmu. Dalam Kojiki, Jimmu disebutkan sebagai keturunan langsung dari Amaterasu (dewa matahari). Disebutkan bahwa cucu Amaterasu bernama Ninigi no Mikoto yang juga kakek dari Jimmu turun dari surga ke Takachihonomine di Pulau Kyushu. Dia ditakdirkan sebagai pemimpin manusia, dan keturunannya melanjutkan kepemimpinannya itu.
Dengan demikian, lewat Kojiki Kekaisaran Jepang periode Asuka ini membuat dokumen resmi untuk mengamini kedaulatan kaisar. Lewat naskah ini, mitologi Jepang menjadi penguat klaim secara klenik atas otoritas penguasa yang menjabat di Kekaisaran Jepang.
Bagian pengantar naskah juga disebutkan bahwa pihak kekaisaran punya banyak dokumen atau catatan yang menjadi rujukan cerita-cerita dalam Kojiki.
Pada jilid Nakatsumaki, Jimmu dikisahkan sebagai kaisar penakluk. Cerita sejarahnya berlanjut hingga kaisar ke-15, Ojin. Walau banyak nama-nama kaisar yang disebutkan, hanya saja hanya segelintir yang ditulis dengan rinci di Kojiki. Naskah Kojiki menyebut lokasi istana, nama keturunan, dan lokasi makam.
Kedangkalan cerita para kaisar di Kojiki pun berlanjut pada jilid ketiganya, Shimotsumaki. Kedua bab ini lebih banyak informasi yang rancu bagi para sejarawan, karena melibatkan berbagai cerita mitologi Jepang.
Selain Kojiki, Kekaisaran Jepang pada periode Nara (710—794) juga melakukan pencatatan sejarah. Catatan mereka disebut Nihon Shoki atau yang diterjemahkan sebagai Kronika Jepang. Isinya tidak jauh berbeda dengan Kojiki yang juga memuat mitologi Jepang.
Hanya saja, Nihon Shoki ditujukan sebagai naskah yang bisa diserahkan kepada bangsa asing untuk mengenal Jepang. Sementara Kojiki digunakan secara internal untuk pengetahuan masyarakat Jepang mengenai keluarga penguasa, dan klan-klan terkemuka.
Kemudian pada periode Heian (794—1185), catatan kerajaan lainnya berlaku dan menjadi wajib sebagai pelajaran. Mereka mengklaim bahwa karya mereka lebih tua daripada Kojiki. Nihon Shoki pun lebih punya pamor ketimbang Kojiki yang digunakan sebagai teks tambahan.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR