Nationalgeographic.co.id - Ketangguhan para samurai sangat terkenal dalam sejarah Kekaisaran Jepang. Namun, pada akhirnya status samurai dihapus oleh Kekaisaran Jepang itu sendiri. Dan itu berdampak pada nasib para samurai.
Cerita penghapusan status para samurai mungkin bisa disimak setidaknya sejak peristiwa Restorasi Meiji. Pada tahun 1868 Kaisar Meiji (namanya berarti “pemerintahan yang tercerahkan”) menggantikan Shogun Tokugawa sebagai pemimpin.
Dorongan untuk "restorasi" ini adalah ancaman yang ditimbulkan oleh upaya Amerika dan Eropa untuk menjajah pemerintahan Jepang yang terfragmentasi. Pada akhir periode Meiji pada tahun 1912, para reformis telah mengubah Jepang secara radikal.
Negara feodal terisolasi yang dilanda oleh faksi-faksi yang bertikai itu, dipaksa di bawah todongan senjata untuk membuat perjanjian dengan kekuatan Barat. Dan kini Jepang menjadi kekuatan dunia industri dengan haknya sendiri.
Yang mengejutkan banyak orang, Kekaisaran Jepang mengalahkan Kekaisaran Tiongkok pada tahun 1894 di Korea. Pada tahun 1904-1905, Jepang mengalahkan pasukan Rusia di darat dan laut.
Kemenangan Jepang atas pasukan Rusia itu mengejutkan banyak orang Barat yang menganggap orang Asia lebih rendah dari orang Eropa. Jepang dengan cepat menjadikan dirinya sebagai kekuatan kolonial.
Kekaisaran Meiji mendapati transformasi sosial yang luar biasa dalam periodenya. Salah satunya adalah akhir dari kelas prajurit aristokrat yang dikenal sebagai samurai.
Selama beberapa generasi, para samurai ini dengan status mereka telah berkuasa atau berada di kelas sosial lebih atas daripada petani, pedagang, dan pengrajin. Namun modernisasi dan reorganisasi akhirnya membuat mereka kehilangan hak istimewa kelas mereka.
Pada tahun 1870, sebuah akademi militer dilembagakan. Pada tahun 1876, penggunaan pedang samurai dilarang. Nasib para samurai berubah drastis, tidak lagi berada di kelas sosial atas dan tak lagi bisa beperang dengan pedang khas mereka.
Yang menarik, runtuhnya rezim lama Jepang ini ternyata berlangsung damai. Terutama jika dibandingkan dengan perjuangan panjang dan pahit atas feodalisme di Eropa.
Mengapa samurai menghilang begitu mudah dari Kekaisaran Jepang? Hidehiro Sonoda memeriksa penjelasan yang diberikan oleh para sejarawan.
Sonoda mencatat bahwa kelas samurai jauh dari monolitik. Ada lebih dari seratus klasifikasi peringkat dalam masyarakat samurai.
Ada ruang untuk pemikiran baru dalam campuran ini. Selain itu, sistem panglima perang Tokugawa, yang berlangsung sekitar dua abad, secara bertahap mengubah samurai menjadi apa yang disebut Sonoda sebagai "pegawai negeri".
Mereka telah kehilangan status mereka sebagai prajurit independen pada pertengahan abad ke-19. Sonoda menyebut proses ini sebagai transisi dari "pengikut feodal menjadi birokrat patrimonial".
“Birokratisasi dan demiliterisasi masyarakat samurai memberi fitur perkembangan sejarah Jepang yang sangat berbeda dari para ksatria Eropa,” tulis Sonoda, seebagaimana dikutip dari JSTOR Daily.
Lalu setelah tahun 1840-an, gagasan tentang militer nasional mulai terbentuk. Kemudian pelanggaran paksa oleh Matthew C. Perry terhadap isolasi Jepang pada tahun 1853 mengarah pada perjanjian tahun 1854 yang "membuka" Jepang ke Barat.
Para samurai yang lebih muda menyadari betapa tertinggalnya teknologi mereka dibandingkan dengan kekuatan militer Barat. Mungkin yang lebih penting, mereka juga memahami bahwa organisasi militer sama pentingnya dengan persenjataan.
Mereka ingin mereformasi seluruh konsep kekuatan militer di Jepang. "Interpretasi diri" mereka sebagai samurai sudah berjalan dengan baik pada tahun 1868 dan kini harus ditanggalkan.
“Kemerosotan kelas samurai merupakan akibat langsung dari reformasi militer yang dilakukan pada hari-hari terakhir rezim Tokugawa,” tulis Sonoda.
Hilangnya status samurai dari sistem kelas sosial dalam Kekaisaran Jepang ternyata berdampak baik. Egalitarianisme, setidaknya dalam hukum, menjadi mesin yang membawa Jepang ke monarki parlementer dengan tingkat melek huruf yang tinggi.
Yang menarik, beberapa pemuda cemerlang dari Restorasi Meiji itu adalah mantan samurai. Selain membentuk militer Jepang yang baru, para mantan samurai itu juga menjadi pegawai negeri, guru, pedagang, bahkan petani.
Sonoda menyebutnya "transformasi diri dari tingkat samurai menjadi pemegang jabatan modern". Sebagian besar mantan samurai lebih dari bersedia untuk memotong jambul khas mereka dan bergabung dengan borjuasi.
Dengan berbagai pekerjaan baru mereka yang mungkin tidak lebih dianggap terhormat dari sebelumnya, para mantan samurai ini tetap turut membangun dan memperkuat Kekaisaran Jepang. Kali ini dengan cara-cara yang lebih modern.
Source | : | JSTOR Daily |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR