Melalui proyek ini, kaisar mampu menstabilkan ekonomi dan tatanan sosial, serta menawarkan pelipur lara spiritual kepada rakyatnya selama masa kesulitan besar.
Nyatanya, setelah berlalunya bagian terburuk dari penyakit ini, adalah kebijakan Buddhis yang memastikan kembalinya stabilitas politik setelah penyakit tersebut berjalan dengan sendirinya.
Dia berkonsultasi dengan pejabatnya di Biro Kedokteran untuk mencari pengobatan dan pedoman untuk membantu memerangi penyakit tersebut.
Pedoman ini termasuk larangan air minum, anjuran makan rhubarb rebus, dan penerapan bubuk kepompong ulat sutera pada bisul. Namun, langkah-langkah ini tidak efektif dalam membendung epidemi.
Sebagai seorang Buddhis yang taat, Kaisar Shomu beralih ke kekuatan doa. Dia memerintahkan biksu dan biksuni Buddha untuk membaca kitab dan mempersembahkan doa kepada dewa yang diyakini sebagai bagian dari alam semesta Buddhis. Semuanya bertujuan untuk pemulihan orang yang menderita.
Doa-doa ini diyakini telah membantu meringankan penderitaan orang-orang dan memberikan stabilitas selama masa sulit.
Cacar Akibat Kemarahan Onryo: Mitos dan Adat
Di Jepang kuno, cacar sering dikaitkan dengan murka Onryo, roh mitologis yang mampu kembali ke dunia fisik untuk membalas dendam.
Untuk melindungi dari roh jahat ini, penduduk lokal Jepang mengembangkan berbagai adat dan tradisi.
Salah satu kepercayaan adalah bahwa setan cacar takut pada warna merah dan anjing. Akibatnya, orang mulai memajang boneka berpakaian merah atau dicat merah untuk mengusir roh.
Di Okinawa, sebuah pulau di Jepang selatan, penduduk setempat berusaha menenangkan setan. Mereka menggunakan 'sanshin', alat musik, dan melakukan tarian barongsai di depan pasien cacar yang mengenakan pakaian merah.
Selama ritual, mereka mempersembahkan bunga dan membakar dupa untuk menenangkan setan.
Source | : | Ancient Origins |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR