Nationalgeographic.co.id—Salah satu wabah yang hampir menghancurkan sebuah negara adalah epidemi cacar abad ke-8 di Jepang.
Hal ini menjadi peristiwa sejarah Jepang selama periode Nara, yang dimulai di wilayah Yamato dan dengan cepat menyebar ke seluruh negeri, menyebabkan penyakit dan kematian yang meluas.
Cacar adalah penyakit yang sangat menular. Penyakit ini ditularkan melalui kontak dekat atau melalui benda yang terkontaminasi seperti pakaian dan tempat tidur.
Hal ini ditandai dengan demam dan munculnya ruam pustula yang khas, yang dapat menutupi seluruh tubuh.
Penyakit ini juga telah berkontribusi secara signifikan terhadap erosi kematian manusia sepanjang sejarah. Namun, penyakit ini hanya dihilangkan berkat kampanye vaksinasi global pada 1980-an. Cacar menjadi penyakit pertama yang dihilangkan melalui upaya manusia.
Saat ini, vaksinasi terhadap cacar tidak lagi diperlukan karena penyakit tersebut telah diberantas sepenuhnya.
Kontak Perdagangan dan Budaya: Jepang dan Buddhisme
Bagaimana cacar datang ke Jepang? Selama abad keenam, cacar diperkenalkan ke Jepang oleh para pedagang dan misionaris Buddha dari kerajaan Paekche di Korea.
Meskipun wabah periodik dapat dikelola, penyakit terus muncul dalam gelombang dengan konsekuensi bencana.
Pada tahun 735, wabah cacar kedua melanda Jepang. Pagebluk ini memusnahkan populasi hingga 30 persen, menyebabkan kekurangan tenaga kerja, dan menyebabkan penurunan produksi pertanian dan pendapatan pajak untuk pengadilan.
Menanggapi wabah tersebut, Kaisar Shomu yang memerintah 701-745, beralih keyakinannya ke Buddha sebagai sarana untuk meringankan penderitaan bangsanya. Kelak ia dikenang sebagai seorang penganut Buddha yang taat.
Dia memprakarsai salah satu proyek perlindungan Buddha yang paling ambisius dalam sejarah Jepang dengan membangun kuil Todai-ji. Dia juga dikenal sebagai Kuil Besar Timur, dan menugaskan pembuatan patung perunggu Buddha Vairocana yang sangat besar.
Melalui proyek ini, kaisar mampu menstabilkan ekonomi dan tatanan sosial, serta menawarkan pelipur lara spiritual kepada rakyatnya selama masa kesulitan besar.
Nyatanya, setelah berlalunya bagian terburuk dari penyakit ini, adalah kebijakan Buddhis yang memastikan kembalinya stabilitas politik setelah penyakit tersebut berjalan dengan sendirinya.
Dia berkonsultasi dengan pejabatnya di Biro Kedokteran untuk mencari pengobatan dan pedoman untuk membantu memerangi penyakit tersebut.
Pedoman ini termasuk larangan air minum, anjuran makan rhubarb rebus, dan penerapan bubuk kepompong ulat sutera pada bisul. Namun, langkah-langkah ini tidak efektif dalam membendung epidemi.
Sebagai seorang Buddhis yang taat, Kaisar Shomu beralih ke kekuatan doa. Dia memerintahkan biksu dan biksuni Buddha untuk membaca kitab dan mempersembahkan doa kepada dewa yang diyakini sebagai bagian dari alam semesta Buddhis. Semuanya bertujuan untuk pemulihan orang yang menderita.
Doa-doa ini diyakini telah membantu meringankan penderitaan orang-orang dan memberikan stabilitas selama masa sulit.
Cacar Akibat Kemarahan Onryo: Mitos dan Adat
Di Jepang kuno, cacar sering dikaitkan dengan murka Onryo, roh mitologis yang mampu kembali ke dunia fisik untuk membalas dendam.
Untuk melindungi dari roh jahat ini, penduduk lokal Jepang mengembangkan berbagai adat dan tradisi.
Salah satu kepercayaan adalah bahwa setan cacar takut pada warna merah dan anjing. Akibatnya, orang mulai memajang boneka berpakaian merah atau dicat merah untuk mengusir roh.
Di Okinawa, sebuah pulau di Jepang selatan, penduduk setempat berusaha menenangkan setan. Mereka menggunakan 'sanshin', alat musik, dan melakukan tarian barongsai di depan pasien cacar yang mengenakan pakaian merah.
Selama ritual, mereka mempersembahkan bunga dan membakar dupa untuk menenangkan setan.
Kepercayaan dan praktik ini tampak tidak biasa dan terlalu percaya takhayul di zaman sekarang. Namun, mereka menawarkan wawasan tentang cara orang Jepang kuno berusaha memahami dan mengatasi penyakit cacar yang mematikan.
Beberapa dari tradisi ini masih ada sampai sekarang, termasuk tarian cacar tradisional untuk membantu menghindari 'cacar setan'.
Bahkan saat ini, masyarakat sangat mempercayai warna merah sebagai hubungannya dengan pemberantasan cacar.
Epidemi cacar signifikan karena terjadi selama periode perubahan besar dalam sejarah Jepang.
Periode Nara, yang berlangsung dari tahun 710 hingga 794 M, adalah masa transformasi budaya dan politik. Pasalnya, saat itu Jepang telah mengalami masa sentralisasi dan nasionalisasi yang berat, yang menyebabkan perkembangan semacam identitas pan-Jepang.
Krisis ini diperparah dengan tidak adanya vaksin dan perawatan efektif lainnya.
Sebenarnya, ini hampir seribu tahun penuh sebelum pertumbuhan industri mendorong ilmu pengobatan dan vaksin modern.
Banyak anggota keluarga kekaisaran Jepang dan bangsawan tewas karena penyakit itu. Termasuk banyak masyarakat hingga mengurangi populasi masyarakat Jepang.
Secara keseluruhan, epidemi berdampak signifikan pada masyarakat Jepang, karena sangat melemahkan struktur politik dan sosial negara yang ada.
Hingga saat ini, sejarah di dunia telah mengalami epidemi yang tak terhitung jumlahnya. Beberapa telah dihentikan, seperti ‘Black Death’, hingga pandemi COVID-19 baru-baru ini telah mendatangkan malapetaka hampir secara global.
Sementara itu pandemi yang lain telah menyebabkan kehancuran secara lokal seperti epidemi cacar di Jepang kala itu.
Source | : | Ancient Origins |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR