Nationalgeographic.co.id—Periode Heian ( 794 – 1185 M) menjadi zaman keemasan kebudayaan kekaisaran Jepang. Pasalnya pada periode ini karya seni terutama puisi dan sastra membawa pengaruh besar perkembangan budaya kekaisaran Jepang. Pemerintahan dan administrasi didominasi oleh klan Fujiwara yang pada akhirnya disaingi oleh klan Minamoto dan klan Taira.
Ibu kota dan Pemerintahan Heian
Istana kekaisaran Jepang diwarnai dengan konfilk internal para artistokrat yang berseteru demi jabatan selama Periode Nara (710-794). Situasi ini menyebabkan Kaisar Kammu memindahkan ibu kota dari Nara ke Nagaokakyo dan kemudian ke Heiankyo di tahun 794.
Sang Kaisar membebaskan pemerintahan dari korupsi dan memulai kembali dari awal. Hal ini menandai dimulainya Periode Heian yang berlangsung hingga abad ke-12.
Ibu kota yang baru Heiankyo memiliki arti ibu kota damai dan tentram, sekarang dikenal sebagai Kyoto. Ibu kota ini ditata secara sederhana, memiliki jalan tengah yang lebar yang membagi bagian timur dan barat.
Arsitekturnya bergaya Tiongkok, sebagian besar bangunan administrasi publik memiliki pilar-pilar warna merah yang menyangga genting warna hijau. Sebuah taman hiburan yang luas dibangun di sebelah selatan istana Heian atau Daidairi.
Sejak abad ke-11 Kyoto diresmikan menjadi nama ibu kota dan Kyoto tetap menjadi ibu kota Jepang selama ribuan tahun.
Ibu kota Kyoto menjadi pusat pemerintahan, menguasai lebih dari 7.000.000 penduduk yang tersebar di lebih dari 68 provinsi. Masing-masing diperintah oleh gubernur daerah dan kemudian dibagi lagi menjadi delapan atau sembilan distrik.
Nasib rakyat jelata tidak sebaik kaum bangsawan. Sebagian besar masyarakat Jepang menggarap tanah, baik untuk dirinya sendiri atau tanah milik orang lain.
Mereka dibebani pajak yang besar. Pemberontakan merupakan hal biasa, seperti yang terjadi di Kanto di bawah pimpinan Taira no Masakado antara tahun 935 dan 940.
Pada abad ke-12, separuh kepemilikan tanah adalah milik pribadi (shoen) mereka diberi dispensasi khusus lewat bantuan atau karena alasan religius, dibebaskan dari pajak.
Situasi ini mengakibatkan masalah serius pada keuangan negara. Pemilik tanah yang kaya dapat mengklaim kembali tanah baru dan mengembangkannya, sehingga makin memperkaya diri sendiri dan memperlebar jarak antara yang kaya dan miskin.
Source | : | World History Encyclopedia |
Penulis | : | Cicilia Nony Ayuningsih Bratajaya |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR