Pada zaman Asuka dan zaman Nara yaitu di akhir abad ke-6 hingga abad ke-8, istilah waka yang artinya puisi Jepang digunakan untuk membedakan dengan puisi Tiongkok bernama kanshi.
Waka menggunakan gaya tanka dimana setiap puisi memiliki tepat 31 suku kata atau aksara. Sebaliknya, gaya nagauta yang lebih panjang bisa mencapai 200 baris.
Menariknya, antologi ini disusun secara tematik. Terdiri atas zoka yang berisi aneka tema, somon yang bertemakan puisi cinta, dan banka yang merupakan elegi.
"Puisi-puisi itu mencakup periode empat abad yang bisa jadi dimaksudkan untuk dinyanyikan" ungkap Cartwright. Yakamochi, banyak memberi kontribusi puisi yang berhubungan dengan kesedihan dan kemurungan.
Lalu siapa lagi penulis selain Yakamochi dalam antologi terkenal ini?
Sejarah mencatat, nama terkenal lainnya dalam koleksi ini termasuk Kakinomoto Hitomaro dan Yamanoue Okura. Kakinomoto Hitomaro hanyalah pejabat rendahan di istana, tetapi dia dianggap sebagai penyair terbaik pada masa itu. Terdapat 80 puisinya dalam antologi itu.
Yamanoue Okura, pejabat pemerintah lainnya, memberikan kontribusi 70 puisi. Dia adalah pembimbing putra mahkota, calon Kaisar Shomu kekaisaran Jepang. Karyanya terkenal karena elemen sosialnya, terutama tentang kemiskinan.
Penyair lain yang berkontribusi pada Manyoshu termasuk penyair yang kurang terkenal, diplomat, putri kekaisaran Jepang, kaisar, tentara, petani, dan masih banyak karya yang tidak disebutkan namanya.
Puisi-puisi dari Manyoshu mengilhami banyak penyair dari masa ke masa yang meniru gaya, perumpamaan, dan bahkan frasa. Bahkan beberapa penyair kemudian menulis balasan dari karya sebelumnya.
Meskipun tidak diketahui pasti mengapa Manyoshu dibagi menjadi 20 buku, namun pembagian tersebut menjadi model yang diikuti oleh hampir semua antologi kekaisaran Jepang berikutnya.
Para ahli sejarah mengungkap, sebenarnya 20 volume buku ini pada awal pembuatannya tidak disusun secara berurutan.
Penulis | : | Cicilia Nony Ayuningsih Bratajaya |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR