Ada pula lika-liku tentang Dipanagara dan ironi penangkapannya. Selepas itu, digambarkan pula pecahnya Mataram yang dirangkum dalam penyajian materi (teks dan gambar) tentang Perjanjian Giyanti.
Masuk ke ruang yang semakin dalam, kita diajak untuk meneropong lebih jauh lagi tentang sejarah Surakarta hingga Tanam Paksa. "Ada master view, bisa lihat gambar-gambar seru buat edukasi sejarah," imbuh Jonanda saat menemani saya sembari menunjukkan media master view sejarah.
Bersama pramuwisata juga, para pengunjung dapat bertanya banyak hal yang mereka temui dalam ruang-ruang galeri. Ada juga sajian tentang perkembangan politik di Solo. Tak sedikit juga dari rombongan pengunjung yang tergelitik untuk menanyakan petihal perkembangan komunis di Solo.
Saya berpandangan bahwa setidaknya tempat yang sederhana, tetapi mampu menampilkan ragam penyajian fitur sejarah yang menarik ini, telah berhasil memercik semangat budaya dan menjadi aset edukasi sejarah bagi orang-orang yang punya keingintahuan tentang sejarah kotanya.
"Lumayan buat edukasi sejarah, saya yang secara awam jadi bisa banyak tahu tentang sejarah [Kota Surakarta]," ungkap Jonanda saat menemani langkah saya memasuki ruang demi ruang dalam Rumah Budaya Kratonan. Merogoh kocek senilai Rp25.000, kita diajak menyusuri ruang edukasi sejarah yang menarik.
Pada akhir perjalanan, terdapat perpustakaan dengan koleksi buku yang beragam. Tidak hanya buku sejarah yang sohor seperti Babad Tanah Jawa atau Max Havelaar, tetapi juga banyak novel-novel populer yang membuat banyak pengunjung bisa bersantai sembari membaca.
Satu ruang tanam paksa, melecutkan refleksi para pengunjung tentang penderitaan dan pemikiran kritis dari Edward Douwes Dekker yang menentang cultuurstelsel. Hingga penulis terpantik dengan satu ruang yang memampang pertanyaan: "Masih adakah semangat Multatuli hari ini?"
Selain menjadi ruang edukasi sejarah, Rumah Budaya Kratonan yang menampilkan suasana vintage, kerap dijadikan sebagai objek foto atau konten para pengunjung yang datang.
Banyak spot di areal Rumah Budaya Kratonan yang lantas menjadi ramai di media sosial, seperti TikTok. Para pengunjung dari kalangan millenials, sering mengambil video di sana, membuat konten, atau bersantai sembari mengambil gambar.
Meski terbilang baru, kehadiran Rumah Budaya Kratonan telah mewujudkan semangat kebudayaan dan pembacaan kembali sejarah tentang Kota Surakarta. Ia menjadi ruang edukasi sejarah bagi generasi muda yang ingin belajar tentang sejarah bangsanya.
Source | : | Paradigma Politik Muhammadiyah (2020) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR