Nationalgeigraphic.co.id—Pada tahun 1095, Kaisar Bizantium mengajukan permintaan bantuan melawan ekspansi Kesultanan Rum ke Paus Urbanus II. Permohonan ini dianggap para pemimpin Kristen Eropa sebagai kesempatan merebut kembali Yerusalem dan memulai sejarah Perang Salib.
Kesultanan Rum adalah bagian dari Kekaisaran Turki Seljuk Raya yang menguasai Anatolia sejak tahun 1077.
Seljuk adalah sebuah suku Muslim Turki di stepa yang mendapatkan kejayaan setelah menguasai Asia Kecil, menurut World History Encyclopedia.
Muslim Seljuk mendapatkan rentetan kemenangan yang signifikan di Asia Kecil melawan tentara Kekaisaran Bizantium. Terutama di Pertempuran Manzikert di Armenia kuno pada Agustus 1071.
Akibatnya, Turki Seljuk menguasai kota-kota besar seperti Edessa dan Antiokhia dan pada tahun 1078. Seljuk kemudian menciptakan Kesultanan Rum dengan ibukota mereka di Nicaea di Bitinia di barat laut Asia Kecil.
Pada tahun 1087 mereka telah menguasai Yerusalem dan Kemunculan Kesultanan Rum telah memusingkan Kekaisaran Bizantium.
Kaisar Bizantium Alexios I Komnenos (memerintah 1081-1118) menyadari ekspansi Kesultanan Rum ke Tanah Suci adalah kesempatan untuk mendapatkan bantuan tentara barat dalam pertempurannya untuk menguasai Asia Kecil.
Akibatnya, Alexios mengajukan permohonan ke Eropa barat pada Maret 1095. Permohonan dikirim ke Paus Urbanus II (memerintah 1088-1099) yang kemudian mengeluarkan seruan kepada para pemimpin Kristen Eropa.
Seruan Paus ditanggapi responsif oleh para pemimpin Kristen Eropa, begitu pula ribuan ksatria Eropa. Paus Urbanus II kemudian mengirim pasukan untuk membantu Bizantium pada tahun 1091.
Pasukan tersebut melawan pengembara stepa Pecheneg yang menyerang wilayah Danube utara kekaisaran. Pecheneg adalah suku nomaden Turki di wilayah Asia Tengah.
Seruan Paus memang muncul setelah permohonan bantuan dari Kekaisaran Bizantium, tapi motif utamanya adalah untuk mengembalikan Tanah Suci Yerusalem di bawah kendali Kristen.
Paus ingin melindungi situs-situs penting seperti makam Yesus Kristus, Makam Suci di Yerusalem. Orang Kristen yang tinggal di sana atau berkunjung untuk berziarah juga membutuhkan perlindungan.
Selain itu, ada manfaat tambahan yang sangat penting. Perang salib akan meningkatkan prestise kepausan, karena memimpin pasukan gabungan barat, dan mengkonsolidasikan posisinya di Italia.
Untuk alasan terakhir, dianggap penting setelah kepausan mengalami ancaman serius dari Kaisar Romawi di abad sebelumnya. Kaisar Romawi saat itu bahkan memaksa paus untuk pindah dari Roma.
Urbanus II juga berharap untuk menyatukan gereja Kristen Katolik di Barat dan Kristen Ortodoks di Timur. Kemudian menjadikan dengan dirinya sebagai pemimpin di atas Patriark Konstantinopel.
Kedua gereja tersebut telah terpecah sejak tahun 1054 karena perbedaan pendapat tentang doktrin dan praktik liturgi.
Jika ada yang mengkritisi seruan tersebut, kampanye kekerasan dapat dibenarkan dengan merujuk pada bagian-bagian tertentu dari Alkitab.
Seruan Paus menekankan bahwa ini adalah perjuangan untuk pembebasan, bukan penyerangan, dan bahwa tujuannya adalah tujuan yang adil dan benar.
Pada tanggal 27 November 1095, Urbanus II menyerukan perang salib dalam pidatonya di Dewan Clermont, Prancis.
Pesannya, yang dikenal sebagai Indulgensi dan ditujukan khusus untuk para ksatria, keras dan jelas. "Mereka yang membela kaum Kristen akan memulai ziarah, semua dosa mereka akan dihapuskan, dan jiwa mereka akan menuai pahala yang tak terhitung di kehidupan selanjutnya."
Urbanus II kemudian memulai tur khotbah di Prancis selama 1095-6 untuk merekrut tentara salib, di mana pesannya dibumbui dengan cerita yang dilebih-lebihkan tentang bagaimana.
Pesannya saat itu adalah "monumen Kristen dinodai dan umat Kristen dianiaya dan disiksa tanpa hukuman."
Kedutaan dan surat dikirim ke seluruh bagian Kaum Kristen. Gereja-gereja besar seperti yang ada di Limoges, Angers, dan Tours bertindak sebagai pusat perekrutan, begitu pula banyak gereja pedesaan dan terutama biara.
Seruannya adalah untuk “memikul salib” dan bersumpah untuk menjadi tentara salib. Mereka yang direkrut kemudian mengenakan salib di bahu mereka untuk menyatakan kewajiban mereka.
Perekrutan Tentara Salib sukses besar. Di seluruh Eropa, para pejuang, digerakkan oleh gagasan tentang semangat religius, keselamatan personal, ziarah, petualangan, dan keinginan akan kekayaan materi.
Tentara Salib yang telah direkrut berkumpul sepanjang tahun 1096, siap berangkat ke Yerusalem.
Tanggal keberangkatan ditetapkan pada 15 Agustus tahun yang sama. Sekitar 60.000 tentara salib termasuk sekitar 6.000 ksatria akan terlibat dalam gelombang pertama.
Sementara itu, peradaban Islam yang menguasai Yerusalem ketika itu sebenarnya memiliki masalahnya sendiri. Kesultanan Rum saat itu menghadapi musuhnya sendiri, bahkan sebelum tentara salib tiba.
Kesultanan Rum menguasai sebagian besar Asia Kecil dan Suriah utara pada dekade terakhir abad ke-11. Mereka sedang dalam konflik dengan musuh bebuyutan mereka, Kekhalifahan Fatimiyah, yang berbasis di Mesir.
Saat itu, Kekhalifahan Fatimiyah berhasil merebut kembali kendali Yerusalem dari Kesultanan Rum hanya beberapa bulan sebelum Tentara Salib tiba di tempat kejadian.
Sementara itu, pada bulan Desember 1098 tentara salib mulai bergerak maju ke Yerusalem. Dari sinilah kemudian sejarah Perang Salib yang rumit mulai bergulir hingga hampir 3 abad setelahnya.
Sanggup Serap Ratusan Juta Ton CO2, Terobosan Ini Diklaim Cocok Diterapkan di Indonesia
Source | : | World History Encyclopedia |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR