Nationalgeographic.co.id - Era dalam sejarah Jepang sebelum periode Nara dikenal sebagai periode Asuka, yang berlangsung dari tahun 538 hingga 710 Masehi. Nama periode ini diambil dari lokasi ibu kota di Asuka, kota tempat lahirnya peradaban Jepang.
Kekaisaran Jepang mengadopsi banyak aspek budaya Tionghoa, seperti Konfusianisme dan Buddhisme, sekaligus mengembangkan gaya seni dan arsitekturnya yang unik.
Dapat dikatakan bahwa perkembangan yang terjadi selama periode Nara merupakan kelanjutan dari perkembangan yang telah dilakukan pada era sebelumnya. Meski demikian, ada perbedaan yang membedakan periode Nara dan Asuka.
“Periode Nara menyaksikan munculnya istana kekaisaran yang sangat dipengaruhi oleh struktur politik Tiongkok, serta pendirian Buddha yang kuat dan berperan besar membentuk masyarakat Jepang” ungkap Wu Mingren.
Perubahan besar kekaisaran Jepang terjadi pada periode Nara yang berlangsung dari tahun 710 hingga 784 M. Reformasi politik besar, perkembangan budaya kekaisaran Jepang terjadi dalam periode ini.
Selama periode ini, kekaisaran Jepang memperluas perbatasannya dan mengembangkan budayanya dengan masuknya agama Buddha dan Konfusianisme dari Tiongkok.
Periode ini juga menyaksikan munculnya pengadilan kekaisaran yang kuat yang menetapkan banyak undang-undang yang membentuk Jepang selama berabad-abad hingga saat ini. Periode Nara adalah langkah penting dalam transisi sejarah Jepang dari masyarakat tradisional kesukuan ke peradaban maju.
Meskipun administrasi pusat telah dikembangkan selama periode Asuka, Jepang belum memiliki ibu kota permanen. Jadi, setiap kali seorang kaisar baru naik takhta, istana kekaisaran akan pindah ke lokasi baru.
Ini karena kepercayaan yang berlaku bahwa kematian seorang kaisar mencemari ibu kota. Oleh karena itu penguasa baru harus pindah. Hanya selama periode Nara, ibu kota permanen pertama Jepang didirikan.
Nara terletak di wilayah Kansai di Honshu, pulau terbesar di Jepang, dan menjadi ibu kota negara ketika Permaisuri Genmei memindahkan pusat pemerintahan kekaisaran ke Heijo-kyo (Nara) pada tahun 710. Nara menjadi ibu kota Jepang hingga tahun 784.
Perencanaan ibu kota dilakukan dengan hati-hati, ditata dengan ketat dan menjadi pusat kota pertama di negara itu. Diperkirakan Nara memiliki populasi 200.000, sekitar 4 persen dari populasi Jepang saat itu. Sepuluh ribu penduduk di antaranya bekerja pada pemerintahan kekaisaran.
Wu Mingren menyebutkan, “Banyaknya orang yang dipekerjakan oleh pemerintah menunjukkan bahwa pada masa Nara, Jepang telah mengembangkan birokrasi yang canggih." Tidak mengherankan, birokratisasi pemerintah disebabkan oleh adopsi model pemerintahan Tiongkok.
Seperti pemerintahan Tang kekaisaran Tiongkok, pemerintah pusat Jepang juga memiliki dewan negara, dan kementerian yang bertanggung jawab atas berbagai urusan termasuk perang, pengadilan, ritual, dan pekerjaan umum.
Selain dari birokratisasi tersebut, pengaruh Tang juga terlihat pada sistem hukum Jepang yang mengalami transformasi. Di masa lalu, proses hukum asli Jepang masih dilakukan dalam sistem tradisional.
Periode Nara melakukan perubahan, sejarah perubahan ini tidak terjadi dalam semalam, karena kodifikasi hukum Jepang melalui proses yang bertahap, dimulai sejak tahun 662 dan berpuncak pada Kode Taiho pada tahun 701.
Kode Taiho sebenarnya sudah diberlakukan pada akhir periode Asuka. Pembentukan Kode Taiho menjadi peristiwa pertama yang melibatkan Konfusianisme sebagai sebuah unsur penting dalam kode etik dan pemerintahan Jepang.
Kode ini direvisi pada periode Nara untuk mengakomodir kebutuhan pemerintahan. Kode Taiho membentuk dua lembaga pemerintahan yakni Departemen Peribadatan (Jingi-kan) dan Departemen Negara (Daijo-kan).
Kode Taiho dikenal juga sebagai Ritsuryo, bisa dikatakan kode hukum Jepang yang paling terkenal. Kitab undang-undang ini berisi hukum pidana (ritsu) dan hukum administrasi (ryo).
Salah satu fitur penting dari Kode Taiho adalah undang-undang yang menetapkan struktur administratif pemerintah pusat atau provinsi, distrik, dan kotapraja. Kode Taiho digunakan hingga akhir abad ke-8 Masehi.
Meskipun Kode Taiho hampir sama dengan kode asli Tiongkok, tetapi ada dua perbedaan yang signifikan. Pertama, dalam sistem Tiongkok, jabatan pemerintahan diperoleh berdasarkan kebajikan, bakat dan jasa. Namun, orang Jepang lebih memilih hirarki berbasis kelahiran.
Kedua, preferensi menurut garis keturunan maka kaisar Jepang menerima haknya untuk memerintah berdasarkan keturunan kekaisarannya. Sementara konsep Tiongkok "Mandat dari Surga" digunakan untuk membenarkan otoritas jabatan.
Selain sistem pemerintahannya, budaya, gaya artistik, dan teknologi Tiongkok juga diadopsi dan diadaptasi oleh elite Jepang selama periode Nara. Manyogana yang digunakan selama ini adalah sistem penulisan yang menggunakan karakter Tiongkok.
Manyogana berkembang menjadi sistem penulisan hiragana dan katakana yang masih digunakan sampai sekarang. Penciptaan manyogana pada gilirannya mengarah pada penulisan waka atau puisi Jepang. Manyoshu yang berarti Sepuluh Ribu Daun adalah antologi pertama puisi Jepang. Sistem penulisan manyogana mendapatkan namanya dari antologi ini.
Antologi puisi utama lainnya yang disusun selama periode Nara adalah Kaifuso. Berbeda dengan Manyoshu, puisi-puisi dalam Kaifuso ditulis oleh penyair Jepang dalam bahasa Cina. Ini adalah antologi puisi Tiongkok tertua yang diketahui ditulis oleh orang Jepang.
Buddhisme sudah tiba di Jepang sebelum periode Nara yang diperkenalkan pada abad ke-6 M oleh Baekje, salah satu kekaisaran dari Tiga Kerajaan Korea. Akan tetapi, pada saat itu, agama Buddha tidak banyak mendapatkan pengikut baru, dikarenakan tidak menerima perlindungan kekaisaran.
Jumlah pengikut agama Buddha bertambah selama periode Nara, khususnya sejak masa pemerintahan Kaisar Shomu dan seterusnya. Shomu, yang memerintah Jepang dari tahun 724 hingga 749, dan istrinya Permaisuri Komyo adalah penganut Buddha yang taat.
Oleh karena itu, mereka secara aktif mempromosikan penyebaran agama Buddha, memperkuat institusi Jepang dengan agama ini. Shomu juga bertanggung jawab atas pembangunan Todai-ji (Kuil Besar Timur) di Nara.
Todai-ji selesai dibangun pada tahun 752, dan yang paling terkenal adalah aula utamanya, Daibutsuden (Aula Besar Buddha) yang menyimpan patung perunggu Buddha Vairocana raksasa. Untuk waktu yang lama, Daibutsuden memegang rekor sebagai bangunan kayu terbesar di dunia.
Akan tetapi, telah ditunjukkan bahwa aula saat ini, yang merupakan rekonstruksi dari tahun 1692, hanya berukuran dua pertiga dari yang dibangun oleh Shomu. Adapun patung perunggu, Daibutsu, Buddha duduk ini menjulang setinggi 15 meter (49,2 kaki) dan merupakan salah satu patung Buddha terbesar di Jepang. Saat ini, Kuil Todai-ji adalah terpenting di Nara, dan objek wisata terpopuler.
Akhir periode Nara diperkirakan terjadi pada tahun 784 atau 794. Pada tahun 784 M, Kaisar Kammu memindahkan ibu kota Jepang ke Nagaoka-kyo. Namun ibu kota ini berumur pendek karena sungai-sungai di dekatnya terus-menerus membanjiri Nagaoka-kyo.
Jadi, pada tahun 794 kaisar sekali lagi pindah, kali ini ke Heian-kyo, yang sekarang menjadi bagian dari kota Kyoto. Kyoto berfungsi sebagai ibu kota kekaisaran Jepang selama lebih dari satu milenium, sampai tahun 1869, sebelum akhirnya pada tahun 1868 dipindahkan ke Edo (Tokyo).
Setelah kehilangan statusnya sebagai ibu kota kekaisaran Jepang, Nara tidak sepenuhnya ditinggalkan, saat ini menjadi salah satu tujuan wisata paling populer di Jepang. Selain Todai-ji, ada bangunan lain di kota yang berasal dari periode Nara. Ini termasuk sisa-sisa istana Heijo-kyo, yang merupakan tempat kediaman kekaisaran dan kantor pemerintahan, dan Pagoda Timur Kuil Yakushi-ji.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Source | : | Ancient Origins |
Penulis | : | Cicilia Nony Ayuningsih Bratajaya |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR