Tak lama setelah itu, Rosanti, Fraz, dan penerbang paralayang mengudara secara bergiliran. Beberapa dari mereka menjadi pilot, menerbangkan para tamu yang datang. Editor-in-chief National Geographic Indonesia Didi Kaspi Kasim, pegiat perjalanan Ramon Y. Tungka, dan pemengaruh Satya Winnie, ikut diterbangkan.
Setelah mendarat, Didi mengatakan bahwa paralayang Desa Wayu memiliki panorama yang tidak kalah mengagumkan daripada tempat-tempat wisata di Indonesia. Saat terbang dengan paralayang, pemandangan yang disuguhkan berupa hutan hijau, pegunungan, laut, teluk, muara, desa, dan kota, sekaligus kondisi situasi terbang menghadapi termal, tidak bisa ditemukan di seluruh dunia.
Didi menegaskan, walau alam yang dimiliki Desa Wayu unggul secara bentang, tetapi jika hanya mengandalkan paralayang akan sangat disayangkan. "Di tempat lain ada yang kayak begini," lanjutnya. "Cuma kan hanya akan menjadi another destination. Karena pengelolaan pariwisata itu tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang."
Cara agar mengunggulkan Desa Wayu sebagai destinasi wisata yang menarik adalah perlu melibatkan kekayaan tradisi masyarakatnya. Sebab, desa ini juga ditinggali oleh masyarakat adat suku Kaili Da'a yang semestinya bisa menarik pejalan dengan kekayaan budaya.
Andi Lasippi sebagai Ketua Majelis Adat Kecamatan Marawola Barat mengatakan bahwa pariwisata paralayang di Desa Wayu tidak lepas dari peran masyarakat adat.
Sebelumnya, tempat paralayang sebelumnya berada di Desa Mantatimali yang lebih rendah dari tempat sekarang. Gotong royong dengan izin dari pihak dinas pariwisata dan komunikasi yang baik, membuat masyarakat adat mau memberi tempat untuk olahraga ekstrem tersebut.
"Semoga hubungan gotong royong ini berlanjut dan tempat ini dikembangkan," harap Andi.
Andi menambahkan hendak menekankan pengenalan budaya di Desa Wayu, agar tradisi semakin dikenal. "Mungkin nantinya, setiap wisatawan yang berkunjung akan diwajibkan menggunakan siga (penutup kepala khas suku Kaili) dan tidak boleh datang dengan pakaian setengah-setengah (terbuka)," lanjutnya.
Pariwisata Sigi hari ini sedang bangkit dari keterpurukannya karena sebelumnya pernah diterpa bencana di tahun 2018. Kini, lewat Festival Lestari V, kabupaten yang masuk dalam LTKL ingin kondisi perekonomian kembali pulih sembari menjaga kelestarian lingkungan yang menjadi berkah Sigi selama ini.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR