Nationalgeographic.co.id―Dari sebuah warung kopi di depan landasan terbang Paralayang Desa Wayu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, saya tengah bersantai. Kami menunggu rombongan paralayang dari Federasi Aero Sport Indonesia (FASI) Kabupaten Sigi yang akan memamerkan adrenalin dalam rangka penyambutan rangkaian acara Festival Lestari V.
Atraksi penerbangan paralyang itu berlangsung pada 22 Juni 2023. Sementara Festival Lestari berlangsung dari 23―25 Juni 2023 di Kabupaten Sigi sebagai kegiatan dari Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL).
Sembari menunggu, di warung itu kami menikmati pemandangan kota Palu dan teluknya dari ketinggian. Salah satu penjaga warungnya bernama Rosanti berusia 23 tahun. Dia menyodorkan kopi robusta yang sering ditanam oleh masyarakat desa ini kepada kami.
Saya lihat, Rosanti menggunakan jersey paralayang. Saya tanyakan kepadanya, apakah nanti akan ikut mengudara bersama teman-teman FASI? "Iya," jawabnya.
Rosanti mengatakan bahwa dirinya telah dilatih selama dua tahun dari tahun 2019 hingga 2020, dan sudah berlisensi. Dia telah 90 kali mengudara, dan ini adalah yang keempat kalinya mencoba di Desa Wayu, tempatnya tinggal.
Awalnya pada tahun 2019, Rosanti diajak oleh Ketua FASI Kab. Sigi Amir Mahmud yang sering ke mari. Dari ajakan itulah, ia memiliki kemauan sendiri untuk mencoba menjadi penerbang paralayang.
"Kebetulan di Desa Wayu, potensinya paralayang. Masak sih yang asli sini ndak mau ikut. Tidak mungkin dari luar terus," kata Rosanti. "Masak sih, asli dari sini cuma jadi penonton aja, ndak ada yang mau jadi pegiatnya."
Desa Wayu digadangkan sebagai tempat paralayang "terbaik se-Asia Tenggara". Agustus 2022, desa ini menjadi tuan rumah ajang Paragliding World Cup (PWC) yang melibatkan 32 atlet dari seluruh dunia.
Hal ini semakin menjanjikan Desa Wayu sebagai tempat yang berpotensi untuk paralayang. Rosanti pun unjuk gigi kali ini.
Rosanti tidak sendiri, pegiat lokal lainnya adalah Fraz Arkiang yang baru ikut bergabung tahun 2021.
"Di sini ada empat pegiat yang kami latih dengan bantuan Dinas Pariwisata," kata Amir dalam sebuah pertemuan sebelum penerbangan. "Hanya saja yang bertahan [untuk tetap konsisten] itu hanya dua [orang] sekarang."
Tak lama setelah itu, Rosanti, Fraz, dan penerbang paralayang mengudara secara bergiliran. Beberapa dari mereka menjadi pilot, menerbangkan para tamu yang datang. Editor-in-chief National Geographic Indonesia Didi Kaspi Kasim, pegiat perjalanan Ramon Y. Tungka, dan pemengaruh Satya Winnie, ikut diterbangkan.
Setelah mendarat, Didi mengatakan bahwa paralayang Desa Wayu memiliki panorama yang tidak kalah mengagumkan daripada tempat-tempat wisata di Indonesia. Saat terbang dengan paralayang, pemandangan yang disuguhkan berupa hutan hijau, pegunungan, laut, teluk, muara, desa, dan kota, sekaligus kondisi situasi terbang menghadapi termal, tidak bisa ditemukan di seluruh dunia.
Didi menegaskan, walau alam yang dimiliki Desa Wayu unggul secara bentang, tetapi jika hanya mengandalkan paralayang akan sangat disayangkan. "Di tempat lain ada yang kayak begini," lanjutnya. "Cuma kan hanya akan menjadi another destination. Karena pengelolaan pariwisata itu tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang."
Cara agar mengunggulkan Desa Wayu sebagai destinasi wisata yang menarik adalah perlu melibatkan kekayaan tradisi masyarakatnya. Sebab, desa ini juga ditinggali oleh masyarakat adat suku Kaili Da'a yang semestinya bisa menarik pejalan dengan kekayaan budaya.
Andi Lasippi sebagai Ketua Majelis Adat Kecamatan Marawola Barat mengatakan bahwa pariwisata paralayang di Desa Wayu tidak lepas dari peran masyarakat adat.
Sebelumnya, tempat paralayang sebelumnya berada di Desa Mantatimali yang lebih rendah dari tempat sekarang. Gotong royong dengan izin dari pihak dinas pariwisata dan komunikasi yang baik, membuat masyarakat adat mau memberi tempat untuk olahraga ekstrem tersebut.
"Semoga hubungan gotong royong ini berlanjut dan tempat ini dikembangkan," harap Andi.
Andi menambahkan hendak menekankan pengenalan budaya di Desa Wayu, agar tradisi semakin dikenal. "Mungkin nantinya, setiap wisatawan yang berkunjung akan diwajibkan menggunakan siga (penutup kepala khas suku Kaili) dan tidak boleh datang dengan pakaian setengah-setengah (terbuka)," lanjutnya.
Pariwisata Sigi hari ini sedang bangkit dari keterpurukannya karena sebelumnya pernah diterpa bencana di tahun 2018. Kini, lewat Festival Lestari V, kabupaten yang masuk dalam LTKL ingin kondisi perekonomian kembali pulih sembari menjaga kelestarian lingkungan yang menjadi berkah Sigi selama ini.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR