Nationalgeographic.co.id—Kartini Bangun Negeri (KABARI) dari Rembang, gagasan dari Bank Indonesia bekerja sama dengan Yayasan Lasem Heritage, diresmikan pada 25 Oktober 2022. Keduanya berkomitmen dalam pelestarian batik Lasem dan pengembangan batik sebagai produk ekonomi kreatif unggulan berbasis komunitas.
Rangkaian kegiatan Kompetisi Desain Motif Batik Lasem 2023 (5 April–6 Juli) yang digelar oleh Bank Indonesia Kantor Perwakilan Jawa Tengah dan Yayasan Lasem Heritage kini memasuki tahap akhir sebelum penjurian final.
Karya peserta/kelompok yang masuk 6 besar ditampilkan pada Instragram akun @kabaridarirembang untuk mendapatkan ‘like’ dari warganet. Bagi peserta/kelompok yang memperoleh ‘like’ terbanyak akan mendapat insentif hadiah Juara Favorit pilihan warganet.
Nominator pertama yaitu Dessy Riana dari Yogyakarta membuat desain motif batik bernuansa warna merah. Desain batik ini berjudul Batik Ragi Tumurun.
"Ragi Tumurun" artinya turun-temurun atau diwariskan dari generasi ke generasi. Makna ini menggambarkan warisan budaya Jalur Rempah dan kehidupan multi etnis yang terus dijaga, dilestarikan dan diwariskan hingga saat ini.
Konsep desain “Ragi Tumurun” mencakup motif-motif yang khas dari budaya Jawa, Arab, Tionghoa, dan Eropa.
Beberapa motif diantaranya, motif bunga-bunga, kawung, burung hong, dan ornamen Eropa digabungkan dengan gambar-gambar rempah seperti cengkih, kayu manis, dan pala.
Nominator kedua yaitu kelompok Gantari dari Lasem yang mengangkat judul “Merak Ngigel Reborn”.
Gagasannya berasal dari sebuah artikel De Batik kunts, De Sumatra Post 30 Juli 1900. Surat kabar itu menyebutkan Lasem memiliki sarung dengan motif yang diberi nama Dancing Phoenix ‘Merak Ngigel’ atau Merak Menari.
Burung Hong atau Phoenix dalam kebudayaan Tionghoa menjadi representasi kekuatan Yin, penyeimbang kekuatan Yang yang hadir dalam bentuk ragam hias Naga.
Koleksi batik ini terinspirasi dari topik warisan budaya dan sejarah panjang Lasem yang terkait dengan julukan Lasem sebagai ‘Petit Chionois’ atau Tiongkok Kecil sejak tahun 1800an.
Demikian pula Lasem pada tahun 1860 hingga 1930 menjadi kota industri batik terbesar di Hindia Belanda bersama Solo dan Pekalongan.
Kota pesisir panti utara Jaw aini terkenal dengan batik motif Phoenix hingga ke negara-negara jajahan Inggris seperti Singapura dan Malaysia.
Klenteng Cu An Kiong pun menjadi inspirasi karya Kelompok Gantari. Klenteng Cu An Kiong menyimpan banyak ragam hias simbolik Tiongha maupun motif akulturatif pada ukiran kayu, gambar mural hingga lukisan kayu.
Motif desain batik ini meliputi phoenix atau burung hong yang juga sering diidentifikasi sebagai merak karena phonix memiliki gambaran ekor merak. Selain itu ada juga motif bunga ornamen klenteng, awan, geometri, kelelawar, buah-buahan dan isen-isen khas Lasem.
Pemilihan warna merah merupakan representasi untuk kembali klasik, mengingat pewarnaan merah merupakan warna khas Lasem yang disebut merah ‘getih pitik’ atau darah ayam.
Warna "getih pitik' diakui oleh pelaku batik di Solo, Pekalongan, Yogyakarta dan Cirebon sebagai warna yang hanya dibuat di Lasem. Warna ini terkait dengan air di Lasem yang memiliki kandungan mineral khusus dari pegunungan Kendeng.
Nominator ketiga adalah Kelompok Nawasena dari Lasem. Symphony in Harmony. Judul ini menjadi semangat penciptaan karya yang terinspirasi dari perkembangan Islam di Lasem.
Islam hadir sebagai bagian dari sejarah panjang Lasem sejak masa prasejarah, klasik, kolonial hingga saat ini.
Perkembangan Islam di Lasem dimulai pada masa akhir Majapahit dan berproses dalam dinamika kehidupan damai dan harmonis. Desain motif batik terinspirasi oleh keberadaan Masjid Jami’ Lasem yang memiliki Mustaka bermotif Batara Kala peninggalan masa Klasik (Majapahit) yang dijadikan cungkup masjid pada masanya.
Kelompok Nawasena membuat interpretasi dengan memaknai Musataka Masjid Jami sebagai simbol toleransi dan penghormatan terhadap budaya lama yang masih dipertahankan sampai sekarang.
Komponen desain motif batik ini menggunakan beberapa motif yaitu mustaka, krisan, lintangan, kawung baganan, matahari, tanahan. Juga, arab pegon yang berisi petikan dari Gurindam 12 karya Raja Ali Haji dari Pulau Penyengat yang terkenal dijuluki sebagai Bapak Bahasa Indonesia.
Lasem memiliki hubungan penting dengan Kesultanan Melayu sejak masa Kesultanan Melayu Pagaruyung dan Kesultanan Melayu Riau Lingga. Terutama pada masa Kesultanan Riau Lingga, Lasem menjadi pengimpor gambir, bahan yang digunakan sebagai penguat warna batik.
Hubungan Lasem dan Riau Lingga tidak hanya dagang namun juga terkait dengan perkembangan Islam melalui Jalur Rempah atau Jalur Sutra Laut.
Nominator keempat yaitu Eko Cahyo Saputro dari Yogyakarta dengan judul "Lenggang Puspa Rasa".
Lenggang bermakna gerakan terayun-ayun, dapat dilihat bagaimana motif tanaman dan hewan yang digambarkan terkesan sedang menari dan berlenggok dengan gemulai.
Puspa bermakna bunga dan rasa bermakna tanggapan indra terhadap rangsangan. Rasa hadir dalam kuliner tradisonal khas Rembang, yaitu yopia, dumbeg, rengginang teri, urap latoh dan kaoya dudul.
Motif Lenggang Rasa terinspirasi dari pusaka kuliner lasem dan rembang ditranformasikan menjadi motif bunga yang atraktif dan meiliki kekhasan tersendiri.
Nominator kelima yaitu Kelompok Linggi dari Lasem dengan tema Sea of Serenity – Mare Serenitatis.
Desain motif Linggi terinspirasi dari warisan budaya Lasem di Desa Dasun. Desa pesisir ini pernah menjadi salah satu pusat pembuatan kapal jadi berkualitas tinggi di masa VOC dan pemerintahan Hindia Belanda. Lasem menjadi bagian dari kota bandar di Jalur Rempah Indonesia.
Budaya maritim atau bahari Lasem sampai saat ini masih langgeng dengan keberadaan Desa Dasun, Sungai Lasem/Sungai Babagan. Demikian pula motif-motif batik Lasem banyak terkait dengan ciri budaya bahari.
Linggi adalah kayu melengkung yang berada pada haluan dan buritan kapal. Motif Linggi terinspirasi dari hiasan/lukisan pada haluan dan buritan kapal-kapal nelayan yang berada di sepanjang sungai Dasun.
Motif desain batik terdiri dari linggi, buntut bandeng, latohan, pasiran, koin kepeng, bunga tanaman druju, dan ombak.
Batik ini menggunakan warna merah biru atau ‘bang biron’ untuk menghadirkan ciri warna klasik Lasem.
Stilisasi bentuk linggi tampak seperti bulan sabit (bulan) yang menjadi simbol kelembutan menentramkan dalam budaya Jawa. Demikian pula dalam budaya Tionghoa, bulan merupakan simbol kemakmuran dan ikatan keluarga yang erat.
Nominator keenam yaitu kelompok Abipraya dari Universitas Negeri Surabaya dengan konsep desain berjudul ‘Madaharsa’ yang berarti ‘Cinta & Kesucian'.
Penggunaan nama 'Madaharsa’ ini diibaratkan menjadi puji- pujian, sehingga nantinya batik ini memiliki nilai yang tinggi dalam karyanya.
Inspirasi karya terdiri dari burung Hong & Bunga Botan (Peony)m burung Phoenix merupakan motif utama yg melambangkan dunia atas (khayangan) dan burung mitologi yang melambangkan kebeuntungan.
Bunga Botan menjadi motif pendukung memiliki beberapa makna, meliputi: kehormatan dan kecantikan yang abadi.
Untuk informasi lebih lanjut tentang program pendampingan KABARI dari Rembang, sila kontak kabaridarirembang@gmail.com.
Hutan Mikro Ala Jepang, Solusi Atasi Deforestasi yang Masih Saja Sulit Dibendung?
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR