Nationalgeographic.co.id―Selain air mineral, teh jadi minuman paling popular bagi orang di seluruh dunia. Termasuk di Jepang, sejarah teh pada periode Nara (710 - 794) menjadi minuman mewah para bangsawan Kekaisaran Jepang. Dengan minum teh, para bangsawan Kekaisaran Jepang dianggap menampilkan selera kemewahan mereka, mereka pun memesan porselen terbaik mereka sebagai apresiasi kemewahan hidup.
Lalu darimana bangsawan Jepang mengenal minuman teh?
Biksu Tiongkok adalah orang yang pertama kali di dunia menggunakan olahan teh untuk diminum. Tujuannya untuk membantu meditasi dan pengobatan. Namun tak disangka, popularitas teh melesat cepat menyebar ke budaya Asia Timur lainnya terutama Jepang.
Sebenarnya sebelum Kekaisaran Jepang memperkenalkan kebiasaan minum teh, tradisi ini sudah sangat lama dilakukan oleh biksu Buddha. Minuman teh pertama kali digunakan oleh para biksu Buddha sekitar abad ke-2 sebelum masehi. Teh diminum untuk mengusir kantuk saat mereka bermeditasi. Teh juga dianggap dapat menyembuhkan.
Sejarah teh Kekaisaran Tiongkok pada periode Dinasti Tang (618-907 Masehi), telah menyebar ke luar biara. Teh jadi minuman favorit di kalangan bangsawan yang merupakan satu-satunya kalangan yang mampu membeli menimuman teh yang mahal.
Antara tahun 1192 hingga 1333 pada periode Kamakura Kekaisaran Jepang, Eisai pendiri Zen Buddhisme Jepang membawa kebiasaan dari Tiongkok. Ia minum teh dengan mengolah terlebih dahulu bubuk daun teh tersebut. Sejak saat itu, pada periode ini dilakukan penanaman teh yang menyebar ke seluruh Jepang terutama di Kuil Kozanji di Takao dan di Uji.
Pada periode Muromachi (1333-1573) Kekaisaran Jepang, sejarah teh semakin populer di berbagai kalangan kelas sosial. Mereka sering mengadakan pesta minum teh dan mengadakan permainan dengan menebak nama jenis teh yang mereka minum.
Ahli teh Kekaisaran Jepang menulis tentang bagaimana berperilaku dan menghargai teh sepenuhnya. Minum teh dikembangkan menjadi sebuah bentuk seni dan melahirkan upacara minum teh.
Kisah mitologi teh, berasal dari tradisi kekaisaran Tiongkok dan kekaisaran Jepang. Dikisahkan bahwa Bodhidharma, pendiri Zen Buddhisme melakukan perjalanan untuk menyebarkan ajaran barunya.
Bodhidharma mendirikan kuil Shaolin di Cina Selatan dan Shorinji di Jepang. Ia bermeditasi duduk menghadap tembok selama sembilan tahun. Diambang mencapai pencerahan, ia tertidur. Marah karena melewatkan langkah terakhir ini, ia merobek kelopak matanya sendiri dan melemparkan ke tanah. Sejak itu, tumbuhlah di tempat tersebut semak tanaman teh.
Orang Tiongkok dan Jepang menyebut teh dengan sebutan yang sama yaitu cha. Sementara orang Hindi dan Urdu, memiliki sebutan teh yang mirip yaitu chai. Minuman ini dibuat dengan menambahkan air panas pada ujung daun teh yang masih muda. Nama tanaman tersebut adalah Camellia sinensis yang berasal dari Cina Barat Daya.
"Teh menjadi elemen penting dalam perekonomian. Pemerintah menerima pendapatan pajak atas hasil penjualan teh. Pedagang teh termasuk pengusaha terkaya di Tiongkok karena mampu mengekspor teh ke negara-negara Asia lainnya" Mark Cartwright menyebutkan dalam World History.
Tren minum teh menciptakan budaya penggunaan cangkir teh atau teapot berbahan porselen yang mewah. Dalam perjalanannya, pamer kekayaan yang mencolok dianggap tidak sopan, maka penggunaan teapot yang sederhana namun mahal adalah satu-satunya cara menunjukkan kemakmuran seseorang.
Pada waktu yang hampir bersamaan sejarah teh dikembangkan dengan mengilhami spiritualitas Zen. Pertemuan minum teh diadakan di tempat tuan rumah yang menyajikan teh kepada para tamu sehingga memungkinan keintiman yang lebih dalam. Dari pertemuan inilah upacara minum teh berasal.
Menelisik sejarah teh di Kekaisaran Jepang menjadi salah satu aspek yang paling menarik di era samurai. Dimana mereka yang suka berperang terus menerus, di sisi lain menghadirkan keindahan dan kesederhanaan seni nan lembut dari upacara minum teh.
Kastil Inuyama yang saat ini menjadi salah satu Pusaka Nasional Jepang pernah menjadi rumah bagi panglima perang yang disegani yaitu Oda Nobunaga. Jo-an chashitsu atau Kedai Teh Joan di Inuyama dirancang oleh Oda Urakusai, adik dari Nobunaga. Pertama kali dibangun pada tahun 1618. Urakusai adalah penggemar upacara minum teh sesaat setelah meninggalkan masa lalunya yang penuh dengan kekerasan era samurai.
Urakusai menjadi murid Sen no Rikyu, guru upacara minum teh paling terkenal di Jepang. Rikyu menjadi kepala upacara minum teh panglima besar Oda Nobunaga, namun setelah kematian Nobunaga, ia menjadi kepala upacara minum teh untuk Toyotomi Hideyoshi.
Desain kedai teh dirancang sesuai dengan aturan ritual yang ketat berdasarkan estetika upacara minum teh di Jepang. Jo-an chashitsu menjadi mahakarya arsitektur kedai teh terbaik di Jepang. Dianggap banyak orang, bangunan ini menampilkan keanggunan, kesederhanaan dan klasik. Pada tahun 1936, tercatat dalam sejarah sebagai Pusaka Nasional Jepang.
Sen no Rikyu (1522-1591) adalah seorang figur ahli cara minum teh atau chanoyu Kekaisaran Jepang. Rikyu adalah orang pertama yang memberikan aspek penting dari upacara minum teh.
Rikyu belajar teh pertama kali pada Kitamuki Dochin di kota Sakai pada usia sembilan belas tahun. Rikyu adalah orang pertama yang menerapkan estetika wabi-sabi pada upacara minum teh. Estetika wabi-sabi berlandaskan filosofi Zen yang dibawa ke Jepang oleh biksu Zen, Eisai pada abad ke-12.
Pengertian yang paling sederhana dari wabi-sabi adalah sebuah kesenian dan filosofi Jepang yang digunakan untuk mencari keindahaan dalam ketidaksempurnaan. Kegiatan minum teh menjadi salah satu element paling penting dalam wabi-sabi.
Sesuai dengan representasi warisan budaya Kekaisaran Jepang yang menawan, Taman Urakuen dirancang mempertimbangkan estetika upacara minum teh. Taman Urakuen dinamai sesuai namanya sendiri Urakusai. Seperti kedai teh yang dibuatnya, Urakuen juga dijiwai dengan keindahaan dalam kesederhanaan.
Penulis | : | Cicilia Nony Ayuningsih Bratajaya |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR