Nationalgeographic.co.id—Sudah menjadi hal yang umum bagi para pejuang samurai untuk tewas dalam pertempuran atau ritual bunuh diri. Namun apa jadinya ketika seorang pemimpin samurai menemui ajalnya di tangan seorang wanita tak bersenjata?
“Kisah yang tidak biasa tentang pelacur maut Non Gae telah menginspirasi dan memikat orang Korea Selatan selama berabad-abad,” tulis Zita Ballinger Fletcher, pada laman Historynet.
Menurut sumber-sumber Jepang, keberadaanya tidaklah lebih dari sekadar mitos. Penulis Kawamura Minato, misalnya, membantah keberadaannya dalam buku tahun 2001 "Kisen: 'mono iu hana' no bunkashi."
Namun, di Korea Selatan, Non Gae tetap hidup melalui tradisi lisan. Sebuah kuil bernama Uigisa yang dibangun pada tahun 1740 didirikan untuk menghormatinya. Bahkan, ada sebuah festival tahunan diselenggarakan di Benteng Jinju (Jinjuseong) yang bersejarah untuk mengenangnya.
Menurut sebuah artikel tahun 2016 yang diterbitkan oleh The Asan Forum, "History Wars" antara Jepang dan Korea Selatan masih menjadi sumber perpecahan yang mendalam antara kedua negara karena hubungan historis yang sulit.
Kisah ini terjadi pada tahun 1593 pada awal Perang Imjin antara Korea dan Jepang. Selama konflik ini, panglima perang Jepang yang terkenal, Toyotomi Hideyoshi, melancarkan invasi besar-besaran ke semenanjung Korea (yang saat itu bernama Joseon).
Diperkiraan Toyotomi melancarkan aksinya dengan 158.000 pasukan infanteri dan 9.200 pelaut, termasuk bajak laut. “Kekacauan melanda semenanjung Korea setelah invasi tersebut,” jelas Zita.
Salah satu pertempuran paling sengit terjadi di Jinju, sekitar 70 kilometer dari sebelah barat Busan. Diperkirakan 70.000 orang Korea, termasuk tentara, pejabat sipil dan warga sipil terbunuh selama pertempuran itu.
Benteng Jinju dikepung sebanyak dua kali dan akhirnya tumbang pada tahun 1593 selama Pertempuran Jinjuseong Kedua.
Para komandan Jepang berkumpul untuk merayakan kemenangan mereka di Paviliun Chokseongnu, sebuah aula yang indah di atas bukit yang menghadap ke Sungai Nam.
Para wanita penghibur yang menarik–disebut gisaeng–berkumpul untuk menghibur mereka. Seperti geisha Jepang, gisaeng Korea adalah kasta di atas pelacur biasa yang peran utamanya adalah untuk menghibur para pria-melalui musik, tarian, seni, dan sensualitas.
Zita menerangkan, salah satu pemimpin samurai, yang diduga bernama Keyamura Rokusuke, merasa tersanjung dengan perhatian seorang pelacur bernama Non Gae. “Ia tidak tahu bahwa wanita itu mengincarnya untuk membalas dendam,” jelas Zita.
Dendam Kesumat sang Gisaeng
Menurut Chang Soon-hee, dilansir dari The Korea Times, Keyamura turut menjadi bagian dalam invasi Korea, didasari dendam atas kematian ayah tunangannya. Ia dipercayai untuk memimpin pasukan.
“Sebagai komandan divisi, [Keyamura] selalu berada di barisan terdepan dan membunuh ratusan tentara Korea yang bertahan,” jelas Chang.
Sama seperti Keyamura, berbahan bakar dendam, Non Gae melancarkan pembalasan atas hilangnya nyawa orang yang paling dicintainya.
Non Gae, seorang wanita yang sangat cantik, berusia 17 tahun saat kastil Jinju jatuh ke tangan tentara Jepang. Ia adalah selir dari seorang pejabat tinggi Jinju bernama Choe Gyeong-hoe dan pasangan itu saling mencintai.
Malang, kisah cinta Non Gae menjadi hancur ketika benteng berhasil dikuasai pasukan invasi. “Suaminya terbunuh di antara banyak orang lainnya,” jelas Chang.
Setelah mengamati pertempuran berdarah dengan matanya sendiri, ia tidak punya waktu untuk bersedih untuk suaminya dan tentara Korea lainya yang gugur. Ia bertekad untuk membalas dendam pada penjajah.
Pembunuhan sang Samurai
Pasukan Jepang mengadakan pesta pora, sebagai perayaan kemenangannya. Dikenal sebagai wanita tercantik di Jinju, tentara Jepang tidak melewatkan kesempatan untuk mengundang Non Gae.
Mengenakan gaun Korea-nya yang indah, ia berjalan di antara para prajurit Jepang yang gagah perkasa, Non Gae menemukan jenderal tinggi dan kuat yang telah membunuh suaminya.
Legenda Korea mengatakan bahwa Non Gae memikat Keyamura di luar paviliun untuk momen-momenintim berdua. Non Gae membawa sang samurai ke sebuah singkapan batu yang indah, menghadap ke sungai dan memeluknya dalam dekapan romantis.
Pertemuan itu berakhir dengan maut ketika Non Gae menceburkan diri ke sungai dan menyeret Keyamura, menenggelamkan mereka berdua.
Sumber-sumber Jepang mempertanyakan kebenaran di balik cerita ini, memperdebatkan identitas Keyamura. Memang, berbagai versi berbeda dari namanya muncul dalam berbagai catatan tertulis.
Namun, di Korea, tidak ada keraguan tentang aksi Non Gae. Penduduk lokal di wilayah tersebut memberikan nama Uiam, yang berarti "Batu Kebenaran", di lokasi kematian Non Gae.
Pada tahun 1692, seorang ahli kaligrafi dan cendekiawan Konghucu, Jeong Dae-Ryung, menghiasi sisi batu tersebut dengan tulisan segel yang masih bisa dilihat hingga saat ini.
“Meskipun fakta telah bercampur dengan legenda dari waktu ke waktu, kisah Non Gae tetap menjadi salah satu kisah yang paling tidak biasa dan abadi dari Perang Imjin,” pungkas Zita.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR