Ketika tidak ada pekerjaan ninja yang harus dilakukan, rupanya mereka mempelajari atau mempraktikkan strategi militer, taijutsu (seni bela diri klasik), dan ninjutsu.
Hanya Ninja yang Bisa Menggunakan Ninjutsu
Teknik yang diperlukan untuk aktivitas ninja, seperti pengumpulan intelijen, pencurian, dan pertarungan, secara kolektif dikenal sebagai ninjutsu.
Ninja terkadang menggunakan senjata unik yang disebut alat ninja yang mereka latih untuk digunakan jika terjadi keadaan darurat. Ninja terutama menggunakan senjata rahasia, sabit, dan cakar.
Ninja juga memiliki pedang Jepang yang disebut shinobi-gatana, meskipun mereka jarang memiliki kesempatan untuk menggunakannya dalam pertempuran tidak seperti samurai.
Shinobi-gatana dikatakan telah digunakan sebagai pijakan untuk memanjat dinding dan memanjat atap.
Berbeda dengan pedang samurai, bilahnya pendek dan kusut agar tidak mencolok di malam hari.
Selain itu, untuk menghindari serangan musuh, ninja juga harus memperoleh keterampilan fisik dan menjalani pelatihan yang cukup.
Peran Ninja dalam Sejarah Jepang
Ada berbagai sekolah ninja yang masing-masing melakukan kegiatan spionase untuk master yang mereka layani. Terutama selama periode Sengoku, ketika banyak samurai dan bushi bermimpi untuk mempersatukan Jepang.
Saat itu banyak ninja dikatakan bekerja di balik layar. Banyak anggapan bahwa ninja juga terkadang bertindak sebagai tentara bayaran.
Tidak Ada Ninja di Jepang Modern
Lalu, apakah masih ada ninja di Jepang saat ini? Jawabannya adalah tidak.
Sebagai hasil dari penyatuan Jepang oleh Keshogunan, tidak ada lagi perang saudara di negara ini, dan akibatnya peran ninja tidak diperlukan lagi. Di Jepang modern, tidak ada lagi ninja, dan mereka disebut sebagai makhluk sejarah.
Ninja kehidupan nyata yang sebenarnya tidak memiliki kemampuan fisik manusia super atau ninjutsu yang kuat seperti di anime dan manga.
Namun, banyak orang menganggapnya menarik sebagai keberadaan misterius yang tidak muncul di halaman depan sejarah.
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR