Siklus angin monsun dan iklim justru menjadi pesona di Sumatra Barat untuk mencoba olahraga yang berhubungan dengan angin, yakni paralayang. Saya mencoba untuk terbang bertandem dengan Topik, anggota Faderasi Aero Sport Indonesia (FASI) Sumatera Barat di Bukit Gado Gado, Kota Padang.
Pemandangan Pantai Air Manis begitu memukau begitu lepas landas dari puncak bukit, dengan diujungnya berupa lautan lepas Samudra Hindia. Hanya saja kami tidak lama di udara pada siang menuju sore itu. Termal tidak cukup kuat untuk mengangkat kami lebih lama. Topik mengatakan, ini pengaruh dari musim yang belakangan ganjil. Kami pun segera mendarat di pasir Pantai Air Manis.
"Angin hari ini beda," kata Topik. Semestinya, waktu yang pas untuk terbang dari Bukit Gado Gado sejak pukul 10 pagi hingga tiga sore. "Angin hari ini kurang bagus dari kemarin," lanjutnya sembari meminum air kelapa, menunggu rekan-rekan lainnya turun menjemput.
"Saya bisa merasakan itu, bang. Arah anginnya dan kekuatannya buat bisa terbang buat tamu-tamu. Kalau kondisinya seperti ini, mas, biasanya besok cuaca buruk sampai beberapa hari. Baru minggu depannya cocok buat terbang," papar Topik. Tebakannya betul. Begitu dua hari setelahnya, saya dan awak National Geographic Indonesia lainnya diterpa badai di Alahan Panjang.
"Taste of Padang"
Saya tergelitik dengan slogan pariwisata yang diusung Sumatra Barat, taste of Padang. Dalam beberapa hari perjalanan melintasi Kota Padang, Kabupaten Batusangkar, Kota Bukittinggi, Kabupaten Agam, hingga Lima Puluh Kota, saya baru menyadari: cita rasa kuliner khas Minangkabau betul-betul tiada tara.
Hampir setiap rumah makan yang kami singgahi bak rumah makan padang di Pulau Jawa. Aneka jenis rendang dan dendeng di berbagai rumah makan kami cicipi setiap harinya setiap makan siang dan malam.
Kami mengunjungi Rumah Makan Randang Rajo Rajo di Kecamatan Padang Selatan yang mewariskan cita rasa rendang dengan aneka varian bahan utama. Mereka berpegang pada prinsip bahwa rendang yang disuguhkan kepada pelanggan, harus disajikan sebagaimana olahan daging tersebut disuguhkan kepada para raja Minangkabau.
Meski rasanya begitu gurih dan lezat, rendang di Rumah Makan Randang Rajo Rajo punya kesamaan dengan rumah makan lainnya di Kota Padang. Kesamaannya adalah lebih banyak mengandung rempah-rempah eksotis dan sangat kaya akan rasa.
Berbeda ketika kami masuk ke pedalaman, seperti di warung makan Nasi Kapau Linda di Kota Bukittinggi. Rendangnya masih gurih, hanya saja penggunaan rempah-rempahnya lebih sedikit. Perbedaan ini mengungkap bahwa rendang punya dua varian berdasarkan daerahnya, yakni darek (pedalaman) dan rantau (pesisir).
Perbedaan antara darek dan rantau pun begitu terasa pada rumah makan nasi padang dan nasi kapau. Akan lebih sedikit menemukan makanan berunsur daging merah di rumah makan padang. Nasi kapau justru lebih banyak olahan daging merah, termasuk gulai usus, tetapi olahan lautnya lebih sedikit.
Keragaman inilah yang membuat kuliner di Sumatra Barat begitu khas. Tidak hanya rendang, dendeng pun yang tampang gosong punya banyak varian di luar dendeng batokok dan dendeng balado. Banyak rumah makan khas Minangkabau berdiri di Pulau Jawa, tetapi tidak ada satu pun yang bisa menyaingi cita rasa di sini.
Kami juga mencicipi teh daun kawa yang rasanya menyerupai kopi karena berasal dari daun kopi. Ada pula kuliner unik lainnya seperti bika talago, keripik sanjai, sate padang, dan teh telur yang sedang populer. Semua merupakan kuliner hasil kreasi perpaduan bahan dan rempah-rempah yang unik dari masyarakat Minangkabau.
Masih ada banyak lagi cerita wisata menarik di Sumatra Barat yang patut disambangi. Kekayaan dan bentang alam tropisnya yang penuh pesona menjadi inspirasi bagi masyarakat Minangkabau dalam memiliki keunikan budaya dan kekhasan kuliner. Pepatah "alam takambang jadi guru" betul-betul menjadi falsafah di lubuk ingatan mereka.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR