Nationalgeographic.co.id—Pepatah Minangkabau mengungkapkan, "alam takambang jadi guru", yang dapat diterjemahkan ke bahasa Indonesia sebagai "alam terkembang (terbentang) menjadi guru." Arti pepatah itu menyiratkan bahwa alam dapat menjadi guru bagi manusia untuk menjalani hidup.
Saya terpukau ketika ke Sumatra Barat dengan bangunan-bangunannya yang masih melestarikan tradisi rumah gadang, walau di kota sudah dipengaruhi gaya modern. Motivasi "alam menjadi guru" itulah yang membuat orang Minangkabau masih mempertahankan arsitektur tradisional tersebut.
Masyarakat Minangkabau menyadari bahwa alamnya di pesisir barat Pulau Sumatra sering diterpa bencana. Itulah sebabnya, arsitektur rumah gadang dibentuk sedemikian rupa agar tahan gempa, melalui pasak yang digunakan untuk menggabungkan semua tiang bangunannya. Mereka belajar dari alam.
Rumah gadang tidak menapak di tanah dan menyerupai rumah panggung—sebagaimana rumah tradisional Nusantara lainnya. Dengan bentuk bangunan seperti ini, penghuni rumah dapat selamat dari bencana alam seperti banjir. Masyarakat Minangkabau memperhitungkan mitigasi lewat bangunan tradisional mereka.
Rumah gadang otentik masih lestari di berbagai kawasan di Sumatra Barat. Bangunan seperti itu masih tegak berdiri, misalnya di lingkungan Rumah Tuo Kampai Nan Panjang dan Istano Basa Pagaruyung di Tanah Datar, serta masyarakat yang masih menggunakannya di Nagari Balai Kaliki, Payakumbuh.
Beragam bencana yang pernah terjadi menghadiahkan alam di Sumatra Barat yang begitu penuh pesona. Bukit Barisan yang memanjang dari utara hingga selatan provinsi tersebut, lembah, dan berbagai danau, terbentuk akibat proses geologisnya. Uniknya, masyarakat Minangkabau memiliki beragam cerita legenda yang nyaris seperti hasil ilmiahnya.
"Legenda Bujang Sembilan, misalnya," kata Dinni—nama panggilan untuk Dianni Oktaria Putri. Dinni adalah anggota Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Wisata Kubu Gadang. "Itu cerita tentang asal-usul Danau Maninjau, Bang. Biasa kami tampilkan dalam penampilan randai."
Legenda itu mengisahkan tentang cinta terlarang sepasang kekasih, dan dipenuhi cobaan sampai akhirnya tragis dimakan fitnah. Keduanya harus melompat ke kawah Gunung Sitinjau. Keduanya memohon keadilan kepada Yang Maha Kuasa. Setelah keduanya lompat, Gunung Sitinjau meletus hebat.
Letusan itu membuat Gunung Sitinjau hancur menjadi yang kita kenal kini sebagai Danau Maninjau, lengkap dengan pemandangannya yang elok. Legenda itu menyerupai hasil ilmiahnya, bahwa Danau Maninjau terbentuk dari letusan hebat dari gunung purba ribuan tahun silam.
Sisa letusan itu membentuk kaldera berupa bukit dan lembah yang mengelilingi danau. Untuk bisa ke sana, salah satu pilihannya melalui Kelok 44 yang menuruni bukit. Kelokannya semakin tajam, seiring semakin dekat dengan bagian bawah. Saya yang duduk di kursi paling belakang, bahkan, meminta untuk berpindah di tengah karena pusing yang disebabkan kelokan tajam.
Semua legenda tentang asal-usul tiap lanskap tidak hanya diwariskan dari budaya tutur, tetapi juga lewat kesenian. Salah satunya adalah randai yang diperagakan oleh teman-teman Dinni di Kubu Gadang. Mereka memperagakan berbagai jurus pertarungan dalam seni bela diri silek (silat) yang biasanya merupakan bagian dari atraksi randai.
Silek di Kubu Gadang berbeda dari yang lainnya. Mereka menyebutnya sebagai silek lanyah atau silat lumpur, yang digagas Datuk Jufriadi yang merupakan ninik mamak di Kubu Gadang. Di sela-sela istirahat, Jufriadi mengatakan bahwa silat lanyah merupakan pembaruan dari silek tuo.
"Silek tuo itu susah, tidak semua orang bisa. Gerakannya dapat celaka seperti patah tangan dan patah kaki," kata Jufriadi. "Karena sulitnya itu, kami lebih baik [atraksi silat] dipindahkan ke lanyah. Tidak ada lagi yang celaka."
Namun yang membuat silat lanyah menarik, bagi saya, pertunjukkan silat di kubangan lumpur sawah lebih memukau dilihat. Setiap kali jurus dihempaskan pesilat, lumpur terciprat bak efek visual dalam gim tarung. Di tambah dengan latar belakang area persawahan, membuat ciri khas tradisi begitu kuat dalam pertarungan silek.
Pesona tropis Minangkabau
"Wah, susah udah kalau begini," kata videografer Ricky Martin kecewa pada suatu pagi di pertengahan Juli. Ia menjaga kameranya agar tidak terkena hujan deras disertai angin kencang. Videografer kami yang lain, Aga Akbel Pratama, berusaha sebisa mungkin menghalau air hujan dari kamera dengan menggenggam erat payung ungu milik saya. Sementara itu, fotografer Donny Fernando melindungi kameranya di balik jaketnya.
"Ya udah, kita balik aja. Siang kalau masih begini, kita cabut aja. Langsung ke Batusangkar," saran Ricky. Kami pun kembali ke pondok karena angin sangat kencang dan menghangatkan diri. Seharusnya, kami mengambil gambar tiga danau sekaligus: Danau Atas, Danau Bawah, dan Danau Talang. Namun, angin membawa kabut turun sehingga tak tampak apa-apa.
Rupanya, presipitasi awan terpantau menutup separuh Sumatra Barat, menurut satelit cuaca. Bahkan, di Kota Padang dan Kabupaten Pesisir Selatan, dilaporkan sedang banjir dan longsor.
Mengetahui bahwa Kabupaten Pesisir Selatan dilanda badai hujan deras dan longsor, kami beruntung. Sehari sebelumnya, kami telah mengunjungi Kawasan Wisata Mandeh di daerah tersebut. Kami mengagumi keindahan alam nan eksotis di sana.
Hanya saja saat itu, cuaca sedang panas dan matahari sangat terik. Gugusan pulau kecil di pesisir barat Sumatra itu tampak berdesak-desakkan, bersamaan dengan perbukitan yang berdiri megah dari daratan utama Mandeh. Semua terlihat jelas seperti julukannya sebagai Raja Ampat di Pulau Sumatra, berbeda dengan kondisi kami di Alahan Panjang.
Bagaimanapun, beginilah kondisi alam di belahan bumi khatulistiwa dengan musim yang terkadang kemarau dan hujan lebat. Semua terjadi berkat siklus angin monsun dua kali setahun kawasan tropis. Belum lagi, saat ini Indonesia mulai memasuki siklus El Nino dan Dipol Samudra Hindia, yang membuat pejalan harus berhati-hati saat hendak berwisata.
Siklus angin monsun dan iklim justru menjadi pesona di Sumatra Barat untuk mencoba olahraga yang berhubungan dengan angin, yakni paralayang. Saya mencoba untuk terbang bertandem dengan Topik, anggota Faderasi Aero Sport Indonesia (FASI) Sumatera Barat di Bukit Gado Gado, Kota Padang.
Pemandangan Pantai Air Manis begitu memukau begitu lepas landas dari puncak bukit, dengan diujungnya berupa lautan lepas Samudra Hindia. Hanya saja kami tidak lama di udara pada siang menuju sore itu. Termal tidak cukup kuat untuk mengangkat kami lebih lama. Topik mengatakan, ini pengaruh dari musim yang belakangan ganjil. Kami pun segera mendarat di pasir Pantai Air Manis.
"Angin hari ini beda," kata Topik. Semestinya, waktu yang pas untuk terbang dari Bukit Gado Gado sejak pukul 10 pagi hingga tiga sore. "Angin hari ini kurang bagus dari kemarin," lanjutnya sembari meminum air kelapa, menunggu rekan-rekan lainnya turun menjemput.
"Saya bisa merasakan itu, bang. Arah anginnya dan kekuatannya buat bisa terbang buat tamu-tamu. Kalau kondisinya seperti ini, mas, biasanya besok cuaca buruk sampai beberapa hari. Baru minggu depannya cocok buat terbang," papar Topik. Tebakannya betul. Begitu dua hari setelahnya, saya dan awak National Geographic Indonesia lainnya diterpa badai di Alahan Panjang.
"Taste of Padang"
Saya tergelitik dengan slogan pariwisata yang diusung Sumatra Barat, taste of Padang. Dalam beberapa hari perjalanan melintasi Kota Padang, Kabupaten Batusangkar, Kota Bukittinggi, Kabupaten Agam, hingga Lima Puluh Kota, saya baru menyadari: cita rasa kuliner khas Minangkabau betul-betul tiada tara.
Hampir setiap rumah makan yang kami singgahi bak rumah makan padang di Pulau Jawa. Aneka jenis rendang dan dendeng di berbagai rumah makan kami cicipi setiap harinya setiap makan siang dan malam.
Kami mengunjungi Rumah Makan Randang Rajo Rajo di Kecamatan Padang Selatan yang mewariskan cita rasa rendang dengan aneka varian bahan utama. Mereka berpegang pada prinsip bahwa rendang yang disuguhkan kepada pelanggan, harus disajikan sebagaimana olahan daging tersebut disuguhkan kepada para raja Minangkabau.
Meski rasanya begitu gurih dan lezat, rendang di Rumah Makan Randang Rajo Rajo punya kesamaan dengan rumah makan lainnya di Kota Padang. Kesamaannya adalah lebih banyak mengandung rempah-rempah eksotis dan sangat kaya akan rasa.
Berbeda ketika kami masuk ke pedalaman, seperti di warung makan Nasi Kapau Linda di Kota Bukittinggi. Rendangnya masih gurih, hanya saja penggunaan rempah-rempahnya lebih sedikit. Perbedaan ini mengungkap bahwa rendang punya dua varian berdasarkan daerahnya, yakni darek (pedalaman) dan rantau (pesisir).
Perbedaan antara darek dan rantau pun begitu terasa pada rumah makan nasi padang dan nasi kapau. Akan lebih sedikit menemukan makanan berunsur daging merah di rumah makan padang. Nasi kapau justru lebih banyak olahan daging merah, termasuk gulai usus, tetapi olahan lautnya lebih sedikit.
Keragaman inilah yang membuat kuliner di Sumatra Barat begitu khas. Tidak hanya rendang, dendeng pun yang tampang gosong punya banyak varian di luar dendeng batokok dan dendeng balado. Banyak rumah makan khas Minangkabau berdiri di Pulau Jawa, tetapi tidak ada satu pun yang bisa menyaingi cita rasa di sini.
Kami juga mencicipi teh daun kawa yang rasanya menyerupai kopi karena berasal dari daun kopi. Ada pula kuliner unik lainnya seperti bika talago, keripik sanjai, sate padang, dan teh telur yang sedang populer. Semua merupakan kuliner hasil kreasi perpaduan bahan dan rempah-rempah yang unik dari masyarakat Minangkabau.
Masih ada banyak lagi cerita wisata menarik di Sumatra Barat yang patut disambangi. Kekayaan dan bentang alam tropisnya yang penuh pesona menjadi inspirasi bagi masyarakat Minangkabau dalam memiliki keunikan budaya dan kekhasan kuliner. Pepatah "alam takambang jadi guru" betul-betul menjadi falsafah di lubuk ingatan mereka.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR