Nationalgeographic.co.id—Istilah “demokrasi” berasal dari bahasa Yunani, kratos yang berarti “kekuasaan”, dan demos yang berarti “rakyat”. Dengan demikian, demokrasi dapat diterjemahkan sebagai “kekuasaan rakyat”.
Kita merayakan Athena kuno sebagai tempat lahirnya demokrasi, namun seberapa demokratiskah kota ini pada kala itu?
“Partisipasi dalam demokrasi terbatas hanya untuk pria Athena yang bebas,” jelas Anna Gustafsson, seorang arkeolog dan penulis dari Athena, Yunani. “Perempuan dan orang asing masih tidak memiliki peran publik, dan demokrasi justru meningkatkan jumlah budak.”
Jalan Menuju Demokrasi Athena Kuno
Banyak masalah ekonomi, politik, dan sosial yang melanda Athena selama abad ke-6 SM. Kekayaan dan silsilah menentukan posisi seseorang di dalam masyarakat.
Keluarga-keluarga aristokrat sangat kaya, namun konflik terus-menerus menggerogoti sumber daya mereka. Ada juga ketegangan yang meningkat di antara keluarga-keluarga elit.
Populasi Athena terus bertambah, dan lahan pertanian semakin langka. Kebanyakan orang yang memiliki lahan pertanian kecil membentuk kelas hektemoroi, yang berarti mereka harus menyerahkan seperenam hasil panen kepada pemilik tanah yang kaya.
“Banyak lahan pertanian yang terlalu kecil untuk dapat menghidupi pemiliknya. Hal ini mengakibatkan banyak orang miskin yang terjerat utang,” jelas Anna.
Anna juga menjelaskan, karena keadaan yang sulit, tidak sedikit orang yang menjual anggota keluarga atau dirinya sendiri untuk dijadikan budak. Kekerasan dan kerusuhan juga kian meningkat.
Dari abad ke-8 SM hingga abad ke-4, Athena diperintah oleh para gubernur yang disebut archon. Sembilan archon dipilih melalui undian dari sekumpulan orang yang berasal dari keluarga-keluarga elit yang terkenal dan kaya.
Para archon memiliki masa jabatan selama satu tahun. Archon didukung oleh sebuah dewan, yang juga terdiri dari para pria bangsawan. Banyak anggota dewan yang sebelumnya pernah menjabat sebagai archon, dan mereka bisa menjadi anggota dewan seumur hidup.
Dalam suasana seperti inilah orang-orang Athena melakukan sesuatu yang radikal. Pada tahun 594 SM, mereka memilih seorang archon, bernama Solon.
Solon adalah orang yang sangat dihormati. Ia digadang-gadang untuk tidak berpihak kepada siapa pun. Warga Athena memberi Solon kekuasaan untuk membuat aturan baru agar masyarakat menjadi makmur.
“Solon menciptakan banyak reformasi, yang ia buat lebih mudah diingat dengan menulis puisi tentang ideologi di balik reformasi tersebut,” jelas Anna.
Solon Merancang Reformasi
“Sebagai tindakan pertama dalam daftar panjang reformasi, Solon menyingkirkan sistem hektemeroi dan membatalkan kemungkinan menjual orang ke dalam perbudakan untuk membayar utang,” terang Anna.
Hutang sebagian besar dihapuskan, dan orang-orang diberi kepemilikan atas tanah pertanian mereka. Solon juga melacak orang-orang Athena yang telah dijual ke luar sebagai budak, membawa mereka kembali, dan memberinya kewarganegaraan lagi.
Solon bersikeras bahwa semua orang harus mencari nafkah sendiri dan para ayah diwajibkan untuk mengajari anak-anak mereka sebuah profesi.
Solon juga mengkategorikan warga Athena ke dalam empat kelas sosial, yang masing-masing memiliki hak dan kewajiban berbeda dalam hal kekuasaan politik dan partisipasi sosial.
Kelas-kelas tersebut murni berdasarkan kekayaan. Kelas baru yang paling tinggi adalah pantakosiomedimnoi, yang berarti orang-orang yang memiliki 500 ukuran. Mereka adalah anggota keluarga terkaya yang perkebunannya menghasilkan lebih dari 500 gantang minyak zaitun, anggur, atau gandum.
Kelas tertinggi kedua adalah hippeis, yaitu pria yang bertugas di militer sebagai pasukan kavaleri atau memiliki fasilitas untuk memelihara kuda untuk kavaleri.
Zeugitai adalah orang-orang yang cukup kaya untuk memiliki beberapa ekor lembu. Kemudian para thetes, yang merupakan petani atau pekerja, membentuk kelas terendah.
Pemberontakan Seorang Tiran
Meskipun merupakan salah satu orang yang dihormati, tak sedikit yang kesal dengan Solon akibat kebijakan yang telah dibuatnya. Sekitar tahun 557 SM, Peisistratus melakukan kudeta dan mengambil alih Athena sebagai seorang tiran.
“Istilah tiran tidak selalu berarti pemimpin yang memerintah dengan kekerasan, melainkan pemimpin yang bukan berasal dari keluarga aristokrat yang secara tradisional memerintah kota,” jelas Anna.
Selama kepemimpinannya, Peisistratus, telah mendirikan banyak bangunan publik penting, dan menciptakan sistem peradilan perdesaan.
Peisistratus berusaha agar putra-putranya menggantikannya sebagai pemimpin, namun seorang anggota keluarga aristokrat penting, Cleisthenes, naik ke tampuk kekuasaan.
Di bawah pemerintahan Cleisthenes, Anna menjelaskan, “sistem demokrasi di Athena menjadi lebih egaliter dan stabil.”
Demokrasi di Athena
Kemenangan atas Persia, musuh bebuyutan warga Athena, merupakan dorongan terakhir menuju demokrasi. Keberhasilan dalam pertempuran Marathon pada tahun 490 SM meluncurkan periode kemakmuran selama 150 tahun di Athena.
Apabila Anda mengunjungi Athena, kemungkinan besar Anda akan melihat Pnyx. Area ini adalah tempat para pria Athena kuno bertemu untuk mendiskusikan dan memutuskan masalah-masalah kenegaraan.
Ribuan pria berkumpul untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan hampir setiap minggu. Sebuah kelompok yang terdiri dari 50 orang pria menyusun saran untuk majelis, dan konsistensi kelompok ini diubah secara teratur untuk menghindari penyuapan.
Partisipasi dalam majelis dibatasi hanya untuk pria bebas berusia di atas 18 tahun yang memiliki kewarganegaraan Athena.
Kewarganegaraan dibatasi hanya untuk pria yang memiliki ayah orang Athena. Namun setelah tahun 451 SM, kewarganegaraan hanya untuk mereka yang kedua orang tuanya dari Athena.
Pejabat publik dipilih di antara para peserta sidang. Anna menjelaskan, ada sekitar 700 jabatan publik dalam administrasi kota-negara, yang semuanya menjalani masa jabatan selama satu tahun.
“Ini berarti bahwa sebagian besar warga negara laki-laki memiliki pengalaman memegang jabatan dan mungkin beberapa jabatan selama hidup mereka,” jelas Anna.
Seberapa demokratiskah demokrasi di Athena? Menurut Anna, apabila melihat dari perspektif modern, perbandingannya cukup rumit.
Pemerintah Athena kuno menjalankan keadilan, mengumpulkan pajak, dan mengorganisir pertahanan. Pemerintah juga bertanggung jawab untuk mengeluarkan uang, menyelenggarakan festival, dan membangun gedung-gedung publik.
Namun di sisi lain, tidak ada pendidikan formal yang diselenggarakan oleh negara, tidak ada uang pensiun, dan tidak ada layanan kesehatan. Perempuan juga tidak dapat memilih atau menduduki jabatan dan tidak memiliki peran sosial masyarakat. Begitu juga dengan orang asing.
Dalam pengambilan keputusan, mengharuskan ribuan pria berkumpul hampir setiap minggu untuk berdiskusi dan memberikan suara. Hal ini tentu menyita banyak waktu mereka.
Selain itu bagi mereka yang tinggal jauh dari Bukit Pnyx, harus melakuan perjalanan jauh. Bagi mereka yang tidak memiliki kuda atau keledai, harus menempuhnya dengan berjalan kaki.
“Demokrasi pada masa kemunculannya membutuhkan partisipasi fisik dalam pemerintahan dari mereka yang memiliki hak resmi,” jelas Anna. "Tetapi dengan memberikan hak politik kepada beberapa orang, sistem ini akhirnya tidak inklusif tetapi ekslusif."
Source | : | The Collector |
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR