Seni Ronggeng berisikan para penari wanita yang memiliki kemampuan menyanyi dan menari. Kesenian ini dipertunjukkan di arena terbuka yang jauh dari rumah penduduk.
Selama hiburan berlangsung, para penonton dapat meminta lagu kepada wanita ronggeng. Begitu juga, para wanita penari ronggeng dapat diajak ke luar arena pertunjukan oleh pasangan menarinya ke tempat yang gelap untuk bercengkerama.
Beberapa saat kemudian ronggeng kembali ke arena pertunjukan. Ia menyimpan uang pemberian penggemarnya ke dalam peti dekat panjak (pemain musik).
Ronggeng menari kembali sambil menunggu pasangan berikutnya yang menari bersamanya. Pertunjukan sering berakhir hingga dini hari, yang akan berakhir tatkala para penanggapnya kelelahan atau mulai kehabisan uang.
Meski mendatangkan antusiasme masyarakat, namun "bagi pemerintah, pesta ronggeng di perkebunan cukup merepotkan karena terjadi kriminalitas yang menyertainya," jelas Imadudin.
Demi ronggeng, para buruh rela menghabiskan seluruh uang hasil jerih payahnya selama bekerja hanya untuk perempuan malam. Uang habis karena kebiasaan minuman keras, berjudi, dan mengisap candu.
"Ongkos yang harus dikeluarkan buruh untuk menikmati hiburan tersebut tidaklah kecil. Para buruh akan menghabiskan gaji mingguannya," terangnya.
Akibat munculnya dampak buruk, pemerintah Hindia Belanda akhirnya melarang dengan keras pesta ronggeng pada 1880 dalam sejarah Subang. Meski pada akhirnya, pada 1881 larangan tersebut melonggar.
Source | : | Jurnal Patanjala |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR