Nationalgeographic.co.id—Para ilmuwan menemukan bahwa perubahan iklim telah mengubah ekosistem dan mengancam kehidupan bulu babi. Perubahan iklim telah meningkatkan hujan badai dan menyebabkan kelebihan air tawar di ekosistem perairan dangkal.
Seperti misalnya saat berkendara melewati badai hujan, traksi adalah keniscayaan. Jika tapak ban kurang memadai, kendaraan akan selip dan meluncur tak terkendali membuat pengendara sulit untuk bermanuver dengan aman.
Saat hujan deras melanda ekosistem perairan dangkal di dekat pantai, bulu babi mengalami tantangan serupa. Curah hujan yang tinggi dapat mengubah konsentrasi garam di perairan laut sehingga menyebabkan tingkat salinitas yang lebih rendah.
Bahkan sedikit perubahan salinitas dapat memengaruhi kemampuan bulu babi untuk menempelkan kaki tabungnya dengan aman ke sekelilingnya, seperti ban yang mencengkeram jalan.
Ini menjadi masalah hidup dan mati bagi makhluk berduri kecil, karena mereka mengandalkan struktur perekat mereka untuk bergerak di daerah berbatu dekat pantai yang dilanda gelombang.
Ahli biologi Syracuse University telah melakukan penelitian tentang itu. Mereka mengeksplorasi bagaimana kemampuan perekat bulu babi dipengaruhi oleh tingkat salinitas air yang berbeda.
Kelangsungan hidup bulu babi sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem laut. Bulu babi bertanggung jawab untuk merumput sekitar 45% alga di terumbu karang.
Tanpa bulu babi, terumbu karang dapat ditumbuhi makroalga yang dapat membatasi pertumbuhan karang. Dengan pentingnya terumbu karang untuk perlindungan pantai dan pelestarian keanekaragaman hayati, sangat penting untuk melindungi populasi bulu babi.
Karena perubahan iklim global menyebabkan cuaca ekstrem mulai dari gelombang panas dan kekeringan hingga hujan lebat dan banjir, sejumlah besar air tawar yang mengalir ke ekosistem dekat pantai mengubah habitat.
Tim ahli biologi yang dipimpin oleh Austin Garner, asisten profesor di Departemen Biologi Fakultas Seni dan Sains meneliti dampak tersebut.
Mereka mempelajari dampak salinitas rendah dan bagaimana hal itu mengubah kemampuan bulu babi untuk mencengkeram dan bergerak di dalam habitatnya.
Garner mempelajari bagaimana hewan menempel pada permukaan di lingkungan yang bervariasi dari perspektif kehidupan dan ilmu fisika. Garner merupakan anggota BioInspired Institute di Syracuse University.
Hasil penelitian mereka telah diterbitkan dalam Journal of Experimental Biology dengan judul "Hyposalinity reduces coordination and adhesion of sea urchin tube feet Icon for The Forest of Biologists".
Peneliti berupaya memahami bagaimana populasi bulu babi akan terpengaruh oleh perubahan iklim ekstrem di masa depan.
"Sementara banyak hewan laut dapat mengatur jumlah air dan garam dalam tubuh mereka, bulu babi tidak seefektif ini," kata Garner. “Akibatnya, mereka cenderung terbatas pada kisaran sempit tingkat salinitas.
Curah hujan yang sangat deras dapat menyebabkan sejumlah besar air tawar mengalir ke laut di sepanjang garis pantai. Dampak perubahan iklim itu menyebabkan penurunan konsentrasi garam dalam air laut secara cepat.
Penelitian kelompok itu dilakukan di Laboratorium Friday Harbor (FHL) Universitas Washington. Penulis utama studi tersebut, Andrew Moura, yang merupakan mahasiswa pascasarjana di lab Garner di Syracuse.
Mereka melakukan perjalanan ke FHL bersama dengan Garner dan peneliti dari University of Villanova untuk melakukan eksperimen dengan bulu babi hijau hidup.
Mereka bekerja bersama mantan ilmuwa pascadoktoral FHL Carla Narvaez, yang sekarang menjadi asisten profesor biologi di Rhode Island College. Ia juga profesor University of Villanova Alyssa Stark dan Michael Russell.
Di FHL, para peneliti memisahkan bulu babi menjadi 10 kelompok berdasarkan tingkat salinitas yang berbeda dalam setiap tangki. Mulai dari kandungan garam normal hingga sangat rendah.
Di antara masing-masing kelompok, mereka menguji metrik termasuk respons yang tepat (kemampuan bulu babi untuk membalikkan diri), gerak (kecepatan dari satu titik ke titik lainnya), dan adhesi (kekuatan di mana kaki tabung mereka terlepas dari permukaan).
Di lab Garner di Syracuse, dia dan Moura menyelesaikan analisis data untuk membandingkan setiap metrik.
Tim menemukan bahwa respons, gerakan, dan kemampuan perekat landak laut semuanya dipengaruhi secara negatif oleh kondisi salinitas rendah.
Menariknya, daya rekat bulu babi tidak terlalu terpengaruh sampai tingkat salinitas yang sangat rendah.
Hal itu menunjukkan bahwa bulu babi mungkin dapat tetap menempel dalam kondisi lingkungan dekat pantai yang menantang. Meskipun aktivitas yang memerlukan koordinasi kaki tabung yang lebih besar sepertinya menjadi tidak mungkin.
“Ketika kita melihat penurunan kinerja ini di bawah salinitas yang sangat rendah, kita mungkin mulai melihat pergeseran," jelas Moura.
"Bulu babi mungkin hidup sebagai konsekuensi dari ketidakmampuan mereka untuk tetap terjebak di daerah tertentu yang mengalami salinitas rendah."
“Itu bisa mengubah seberapa banyak makanan bulu babi dan bisa memiliki efek ekosistem yang mendalam.”
Pekerjaan mereka memberikan data penting yang meningkatkan kemampuan peneliti untuk memprediksi seberapa penting hewan seperti bulu babi akan hidup di dunia yang terus berubah.
Di sisi lain, kata Garner, mempelajari bulu babi dapat memberi pemahaman mekanisme molekuler kemampuan perekatan mereka. Sehingga kita dapat memanfaatkan kekuatan tersebut ke kehidupan nyata atau perekat yang ada saat ini.
“Bayangkan bisa memiliki perekat yang permanen, tetapi kemudian Anda menambahkan komponen lain, dan itu akan merusaknya dan Anda dapat menempelkannya lagi di tempat lain," kata Garner.
"Ini adalah contoh sempurna tentang bagaimana biologi dapat digunakan untuk menyempurnakan produk sehari-hari di sekitar kita.”
Source | : | Syracuse University,Journal of Experimental Biology |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR