Bagaimana penelitian dilakukan?
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang menggunakan wawancara semi-terstruktur dengan guru bahasa Inggris di 4 wilayah pesisir di Indonesia.
Mereka mewawancarai 1 guru dari Pulau Sumba, 2 guru dari Pulau Morotai, 1 guru dari Pulau Kalimantan, 3 guru dari Pulau Flores, dan 4 guru dari Pulau Karimunjawa.
Yang diwawancarai dari empat pulau pertama adalah guru bahasa Inggris program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T).
Ini adalah program pendidikan Indonesia yang di dalamnya terdapat guru dikirim ke “daerah 3T” (daerah terdepan, terluar dan terpencil) untuk mendorong pemerataan pendidikan di seluruh nusantara.
Selain itu, mata pelajaran juga melibatkan guru bahasa Inggris di berbagai sekolah menengah di Pulau Karimunjawa, 2 sekolah swasta (satu SMP Islam dan satu SMA Islam) dan 2 sekolah negeri (satu SMP dan satu SMK).
Fokus wawancara adalah pada kurikulum yang digunakan, proses belajar mengajar bahasa Inggris, dan permasalahan yang dihadapi guru dalam proses belajar mengajar bahasa Inggris.
Para pengajarnya adalah lulusan jurusan Bahasa Inggris. Selain itu, observasi juga dilakukan di Pulau Karimunjawa untuk mengetahui proses belajar mengajar bahasa Inggris di kelas.
Hambatan wilayah pesisir
Para peneliti menemukan, bahwa masyarakat di wilayah pesisir Indonesia masih memiliki banyak hambatan untuk mewujudkan potensi wisata bahari. Khususnya yang berada di perbatasan, belum dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang baik.
Selain itu, secara umum terdapat kekurangan guru bahasa Inggris secara kuantitatif dan kualitatif. Hal ini telah menghambat pendidikan bahasa Inggris di daerah tersebut.
"Saran yang dapat diberikan adalah untuk meningkatkan pendidikan bahasa Inggris di sepanjang wilayah pesisir untuk mencapai tujuan Indonesia sebagai poros maritim global," jelas para peneliti.
"Fasilitas yang memadai harus merata, terutama di daerah terpencil yang memiliki potensi wisata bahari."
Kemudian, sekolah harus mempunyai peralatan yang lebih baik dan laboratorium bahasa Inggris juga harus disediakan.
Karena jumlah guru yang berkompeten masih rendah, maka lebih banyak guru “garis depan” yang dapat dikirim ke sekolah-sekolah yang membutuhkan guru yang berkualitas.
"Sekolah harus bekerja sama dengan kantor pariwisata pemerintah dan/atau industri wisata bahari untuk mengembangkan bahasa Inggris siswa yang memiliki kecakapan," menurut peneliti.
Selain itu, guru dalam menerapkan kurikulum nasional harus mempertimbangkan kearifan lokal dan bahan ajar. Sehingga dapat diintegrasikan dengan pendidikan kelautan untuk memberikan proses pembelajaran yang otentik.
"Guru juga perlu meningkatkan metode pengajarannya untuk membangkitkan minat siswa dalam belajar bahasa," para peneliti menjelaskan. "Oleh karena itu, akses terhadap pelatihan pengembangan profesional guru sangat diperlukan."
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.
Source | : | Earth and Environmental Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR