Nationalgeographic.co.id—Pada masa silam, hutan di Riau adalah rumah yang damai bagi para satwa liar, khususnya gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus). Mereka dapat dengan bebas menjelajah hutan sambil meragut dan mengunyah tumbuh-tumbuhan lain yang menjadi favoritnya.
Namun, kelestarian hutan kini terancam oleh aktivitas manusia. Dari tahun ke tahun, luas hutan dilaporkan semakin menyempit. Lenyapnya pohon dan tumbuhan juga membuat gajah kehilangan sumber makanan.
Maka tak heran, bila akhirnya kita melihat gajah yang menerjang perkebunan warga untuk mendapatkan makanan. Kini, manusia mulai berbenah untuk dapat hidup berdampingan dengan gajah.
Di Riau, masyarakat yang tinggal di kawasan perlintasan gajah sumatra mulai menerapkan agroforestri. Sebuah upaya untuk mengurangi interaksi negatif dengan gajah melalui pertanian. Jenis tanaman yang digunakan adalah tanaman yang rendah gangguan dari gajah, tetapi bernilai ekonomi tinggi.
Dalam buku “Gajah, Habitat, dan Agroforestri” dari Rimba Satwa Foundation, agroforestri adalah sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tumbuhan berkayu dengan tumbuhan tidak berkayu atau bisa pula dengan rerumputan, ternak, dan hewan lain sehingga tercipta interaksi ekologis dan ekonomis antar komponen.
Di Riau, agroforestri dikembangkan di lahan-lahan masyarakat yang kerap mengalami interaksi negatif dengan gajah. Begitu pula dengan lahan yang berada di wilayah jelajah gajah dan perlintasan jalur gajah. Menukil dari laman Rimba Satwa Foundation, program ini memiliki manfaat yang multi dimensi.
Di antaranya mendukung pengurangan jejak karbon melalui penanaman pohon, menjaga keanekaragaman hayati, memberdayakan ekonomi masyarakat, dan memperbesar ruang di mana gajah dapat diterima oleh masyarakat. Harapannya, interaksi negatif manusia dan gajah akan mengecil.
Inisiatif agroforestri dilakukan oleh PT.Pertamina Hulu Rokan melalui Rimba Satwa Foundation di lanskap koridor Balai Raja–Giam Siak Kecil, Provinsi Riau. Pembibitan dilakukan di "Base Camp Rehabilitasi Rumah Kompos dan Pembibitan" di Kecamatan Mandau, Riau. Di sinilah bibit-bibit dirawat, sebelum akhirnya dibagikan kepada masyarakat untuk ditanam.
Ridho Ilahi, anggota RSF, menerangkan bahwa di tempat pembibitan, ada bibit-bibit yang dibenihkan sendiri dan ada yang berasal dari Balai Pengelolaan Daerah Sungai (BPDAS), Pekanbaru. Jenis tanaman yang digunakan adalah petai, durian, matoa, jengkol, dan kopi. Sementara untuk jenis tanaman hutan ada pulai dan mahoni.
Hingga saat ini, sebagian masyarakat yang berada di perlintasan jalur gajah, sangat mendukung program agrofestri. Berdasarkan laporan dari laman Rimba Satwa Foundation, sekitar 40 KK warga pemilik lahan di lokasi-lokasi tersebut ikut mengambil bagian.
Penulis | : | Lastboy Tahara Sinaga |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR