Nationalgeographic.co.id - Guna memerangi perubahan iklim, penyerapan karbon harus dilakukan oleh semua negara di dunia. Tak terkecuali Indonesia yang telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, termasuk karbon.
Usaha menghentikan karbon hingga 2030 merupakan hasil dari Persetujuan Paris tahun 2015. Bagi Indonesia, komitmen ini sebenarnya tidak begitu berat, mengingat kekayaan alamnya punya manfaat dalam penyerapan karbon.
Indonesia yang memiliki kawasan pesisir dan laut pun punya daya menyerap karbon yang sangat tinggi. Upaya mengurangi karbon dengan memanfaatkan kekayaan bahari tersebut adalah karbon biru, yang kini sistem tata kelolanya sedang bergulir.
"Memang tidak secara spesifik disebut di dalam Persetujuan Paris," kata Daniel Murdiyarso, ilmuwan utama CIFOR-ICRAF (The Center for International Forestry Research dan Indonesia World Agroforestry) dalam gelar wicara Penguatan Tata Kelola Ekosistem Karbon Biru dalam Mencapai FOLU Net Sink 2030 di Jakarta, 16 September 2023.
Daniel melanjutkan, Perjanjian Paris menyebutkan untuk menjaga ekosistem unik yang terletak di pesisir atau lokasi pasang surut. Salah satu yang terbaik dalam menyerap karbon dalam ekosistem karbon biru adalah mangrove.
Mangrove dapat membantu pemerintah untuk menepati janji untuk menurunkan karbon 700 juta ton. Hal ini membawa keuntungan bagi Indonesia karena penyerapan dapat menghasilkan kredit karbon. Rumus kredit karbon adalah jumlah karbon yang berhasil diserap dikalikan dengan nilai tukar yang dapat menghasilkan kompensasi dana upaya yang selama ini dilakukan.
"Menggarisbawahi hal itu, bagaimana tata kelola dari perdagangan itu sendiri dikaitkan dengan kemampuang kita menyimpan [karbon] dan mungkin juga yang disimpan itu ada yang lepas, bocor dan lainnya seperti karena deforestasi," kata Daniel.
Perlindungan sekaligus memanfaatkan mangrove
Indonesia memiliki kawasan hutan mangrove sekitar 3 juta hektare yang menjadi salah satu terbesar di dunia. Sebagai upaya konservasi dan mencapai tujuan penghentian karbon, Indonesia memiliki hukum yang menjadi dasar perlindungan dan pemanfaatan hutan seperti UU PPLH No. 32 tahun 2009.
Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Supriyatno mengatakan, sebagai upaya menjaga keberadaan mangrove butuh banyak pihak yang terlibat. Dalam sistem tata kelola ekosistem karbon biru, masyarakat pun perlu dalam pengelolaan dan mendapatkan hasil.
Untuk mengembangkan masyarakat, Bambang menerangkan, perlu ada pendampingan baik dari pemerintah, akademisi, maupun lembaga swadaya masyarakat.
"Program pendampingan itu menjadi kunci," tuturnya. "Ada tata kelola usahanya, jadi kelompok masyarakat itu dapat menentukan mangrove mana yang perlu dilindungi dan mangrove mana yang bisa dimanfaatkan."
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR