Nationalgeographic.co.id—Pada tanggal 11 April 1241, tentara Hungaria berbaris di sepanjang tepi sungai Hernad dan Sajo untuk menunggu kedatangan pasukan Kekaisaran Mongol. Meskipun jumlah pasukan Hungaria jauh lebih unggul, peluangnya tetap menguntungkan lawan mereka.
“Badai Mongol” telah berkecamuk di Asia Tengah dan Eropa Timur selama kurang lebih dua dekade pada saat itu.
Pasukan Kekaisaran Mongol itu telah menelan Kekaisaran Khwarazmian di Afghanistan modern, kerajaan Kievan Rus, dan, yang terbaru, Kerajaan Polandia.
Berkat keterampilan menunggangi dan memanah mereka yang tak tertandingi, bangsa Mongol memiliki keunggulan dalam pertempuran, termasuk juga di Hungaria. Busur Mongolia lebih ringan, lebih cepat, dan lebih tepat dibandingkan rekan-rekan mereka di Eropa
Garis di Sajo dan Hernad dilanggar, kota-kota dibakar habis, hasil panen dan ternak disita, dan diperkirakan 25% dari seluruh warga Hungaria dibantai.
Raja Hungaria, Béla IV, melarikan diri ke pantai Dalmatian, yang merupakan bagian dari Kroasia pada saat itu.
Di sanalah ia dan kerajaannya hampir hancur. Akan tetapi, tertunda karena kematian Ogodei Khan yang mendadak pada akhir tahun itu.
Situasi ini memaksa pasukan Mongol di mana-mana untuk melarikan diri pulang ke rumah untuk memilih pemimpin baru.
Invasi Mongol ke Eropa, yang belum selesai, meninggalkan bekas pada mereka yang selamat. “Seluruh kerajaan yang berharga,” tulis Kaisar Romawi Suci Frederick II tentang Hungaria, “tidak berpenghuni, hancur, dan berubah menjadi gurun tandus.”
Invasi tersebut juga diyakini telah memfasilitasi penyebaran penyakit pes, yang menyebabkan kematian hingga 200 juta orang di seluruh dunia.
Kejahatan dan korban jiwa akibat penaklukan Mongol terlalu besar untuk dihitung. Begitu pula dampak hilirnya terhadap perkembangan peradaban.
Polandia, Hongaria, dan khususnya Rusia bangkit kembali dengan lebih kuat, membangun landasan bagi negara-bangsa yang masih ada hingga saat ini.
Source | : | Big Think |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR